Saat kau berumur 15 tahun, dia pulang kerja ingin memelukmu.
Sebagai balasannya, kau kunci pintu kamarmu.
Saat kau berumur 16 tahun, dia ajari kau mengemudi mobilnya.
Sebagai balasannya, kau pakai mobilnya setiap ada kesempatan
tanpa peduli kepentingannya.
Saat kau berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telepon yang
penting. Sebagai balasannya, kau pakai telepon nonstop
semalaman.
Saat kau berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kau
lulus SMA. Sebagai balasannya, kau berpesta dengan temanmu
hingga pagi.
Saat kau berumur 19 tahun, dia membayar biaya kuliahmu dan
mengantarmu ke kampus pada hari pertama. Sebagai balasannya,
kau minta diturunkan jauh daripintu gerbang agar kau tidak
malu di depan teman-temanmu.
Saat kau berumur 20 tahun, dia bertanya, "Dari mana saja
seharian ini?". Sebagai balasannya, kau jawab,"Ah Ibu cerewet
amat sih, ingin tahu urusan orang!"
Saat kau berumur 21 tahun, dia menyarankan satu pekerjaan
yang bagus untuk karirmu di masa depan. Sebagai balasannya,
kau katakan,"Aku tidak ingin seperti Ibu."
Saat kau berumur 22 tahun, dia memelukmu dengan haru saat
kau lulus perguruan tinggi. Sebagai balasannya, kau tanya dia
kapan kau bisa ke Bali.
Saat kau berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1 set furniture
untuk rumah barumu. Sebagai balasannya, kau ceritakan pada
temanmu betapa jeleknya furniture itu.
Saat kau berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan
bertanya tentang rencananya di masa depan. Sebagai balasannya,
kau mengeluh,"Bagaimana Ibu ini, kok bertanya seperti itu?"
Saat kau berumur 25 tahun, dia mambantumu membiayai penikahanmu.
Sebagai balasannya, kau pindah ke kota lain yang jaraknya lebih
dari 500 km.
Saat kau berumur 30 tahun, dia memberikan beberapa nasehat
bagaimana merawat bayimu. Sebagai balasannya, kau katakan
padanya,"Bu, sekarang jamannya sudah berbeda!"
Saat kau berumur 40 tahun, dia menelepon untuk memberitahukan
pesta ulang tahun salah seorang kerabat. Sebagai balasannya,
kau jawab,"Bu, saya sibuk sekali, nggak ada waktu."
Saat kau berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlu-
kan perawatanmu. Sebagai balasannya, kau baca tentang pengaruh
negatif orang tua yang menumpang tinggal di rumah anak-anaknya.
Dan hingga suatu hari, dia meninggal dengan tenang. Dan tiba-
tiba kau teringat semua yang belum pernah kau lakukan, karena
mereka datang menghantam HATI mu bagaikan palu godam.
JIKA BELIAU MASIH ADA, JANGAN LUPA MEMBERIKAN KASIH SAYANGMU
LEBIH DARI YANG PERNAH KAU BERIKAN SELAMA INI DAN JIKA BELIAU
SUDAH TIADA, INGATLAH KASIH SAYANG DAN CINTANYA YANG TULUS
TANPA SYARAT KEPADAMU.
Selasa, 28 Desember 2010
Membentuk Kepribadian Islam
KEPRIBADIAN Islam adalah susunan antara cara berfikir Islami (aqliyyah Islamiyah) seseorang yang dipadu dengan sikap jiwa Islaminya (nafsiyyah Islamiyyah). Persoalannya, bagaimana membuat susunan itu dalam diri seseorang? Bagimana pula meningkatkan kualitas kepribadiannya? Apa sifat-sifat yang muncul?
Langkah Menyusun Kepribadian Islam
Untuk menyusun kepribadian Islam dalam diri seseorang, langkah pertama yang harus diintroduksikan dan ditanamkan pada diri seseorang adalah aqidah Islam. Sehingga seseorang sadar bahwa dirinya adalah seorang muslim. Bukan seorang Kristen, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Yahudi, bukan Hindu, dan bukan Atheis. Pendeknya dia seorang muslim, bukan kafir. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah (laa ma’buuda) kecuali Allah, lailahaillallah. Dia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. adalah rasul utusan Allah. Artinya tidak, ada satu bentuk cara penyembahan (ibadah) kepada Allah, dalam arti sempit maupun umum, kecuali cara yang telah diterangkan dan dicontohkan oleh Sayyidina Muhammad rasulullah saw.
Iman kepada dua kalimat syahadat itu disadarinya sebagai iman kepada seluruh persoalan yang harus diimani menurut ajaran Islam, baik iman kepada sifat-sifat Allah dan asmaul husnaNya, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul utusan-Nya, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada qodlo dan qodar-Nya, yang baik maupun yang buruk.
Iman kepada hari akhir dia fahami sebagai tempat pertanggungjawaban seluruh keimanan dengan segala konsekuensi dan konsistensi dalam kehidupan di dunia. Ia paham bahwa dunia adalah ladang menanam kebajikan untuk dituai buahnya di akhirat. Sebaliknya, orang yang lalai akan ceroboh dan berbuat yang justru membahayakan dirinya sendiri di akhirat nanti. Barang siapa menabur angin, akan menuai badai. Allah SWT memang menciptakan hidup dan mati ini untuk diuji siapa yang terbaik amalannya. Dia berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al Mulk 2).
Langkah kedua, adalah bertekad menjadikan aqidah Islam sebagai landasan (qoidah) dalam berfikir menilai segala sesuatu dan dijadikan landasan (qoidah) dalam bersikap dan berperilaku. Dengan tekad itu, telah seorang memiliki cara berfikir Islami (aqliyah Islamiyah) dan sikap jiwa Islami (nafsiyah Islami).
Dengan langkah kedua ini seorang muslim telah selesai dalam pembentukan kepribadian Islam (takwinus syakhshiyyah). Dia telah dikatakan telah memiliki kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyah) sekalipun baru tahap awal dalam berfikir secara Islami dan mengolah sikap jiwa secara Islami.
Seorang muslim sudah dikatakan sudah memiliki cara berfikir Islam walaupun belum bisa berbahasa Arab apalagi berijtihad seperti Imam As Syafi’I rahimahullah. Dia sudah dikatakan telah berfikir Islami walaupun baru tahu sholat lima waktu itu wajib, sholat berjama’ah di masjid itu lebih utama 25-27 kali daripada sholat di rumah, judi dan khomer serta undian itu adalah permainan syaithon yang harus dijauhi, menyuap maupun menerima suap itu hukumnya haram. Seorang yang berfikir Islami memang tidak disyaratkan mesti canggih dulu berfikirnya semacam Prof. Baiquni yang bisa menilai bahwa hukum Lavoisier tentang kekekalan massa (bahwa massa suatu benda tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan) adalah bertentangan dengan aqidah tauhid yang menyatakan bahwa semua yang ada di alam semesta, baik itu manusia, hewan, tumbuhan, air, batuan, mineral, energi, suhu, dan lain-lain adalah makhluk ciptaan Allah SWT.
Seorang muslim dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami apabila telah bertekad untuk mengubah sikap hidupnya secara total mengikuti Islam dan istiqomah. Ketika ada orang meminta nasihat kepada Rasulullah saw. yang dengan nasihat itu dia tidak bertanya lagi, beliau saw. menjawab:
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu bersikaplah istiqomah (HR. Muslim).
Asal orang sudah bertekad seperti itu, dia dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami (nafsiyah islamiyah) sekalipun belum banyak beribadah. Sekalipun dia baru melaksanakan sholat wajib dan sedikit sholat sunnah. Sekalipun dia baru belajar sholat tahajjud. Sekalipun dia baru belajar membaca Al Fatihah dan Qulhu. Sikap jiwa dan istiqomah untuk selalu mengendalikan perilaku dengan ajaran Islamlah yang membuat seorang memiliki sikap jiwa Islami. Rasulullah saw. bersabda:
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tiada beriman salah seorang di antara kamu sehingga mempersiapkan hawa nafsunya mengikuti ajaran Islam yang kubawa (HR. An Nawawi).
Meningkatkan kualitas kepribadian Islam
Namun untuk mencapai kesempurnaan hidup, agar menjadi manusia yang lulus terbaik dalam ujian Allah SWT dalam kehidupan di dunia, seorang muslim tidak boleh hanya berhenti di tekad atau status telah memiliki kepribadian Islam. Tapi dia harus memiliki tekad untuk menyempurnakan dirinya menjadi mukmin yang muttaqin.
Oleh karena itu, langkah ketiga, seorang muslim itu membina cara berfikir Islaminya dengan meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu-ilmu Islam, baik aqidah Islamiyah itu sendiri, Al Qur’an, As Sunnah, Tafsir ayat-ayat Al Qur’an, Fiqh, hadits, siroh, bahasa Arab dan lain-lain yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas cara berfikirnya yang senantiasa menghubungkan segala sesuatu yang difikirkannya dengan informasi Islam.
Seorang muslim perlu menambah keyakinannya dengan tambahan pengetahuan tentang aqidah Islam dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Dia akan menemukan Allah SWT menyatakan bahwa agama islamlah yang diridloi oleh Allah dan mencari agama selain Alloh adalah kerugian yang besar. Dia SWT berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (QS. Ali Imran 19).
Juga firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imran 85).
Dengan keyakinan ini dia akan menjaga keislamannya sampai akhir hayatnya sebagaimana tuntunan Allah dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (QS. Ali Imran 102).
Untuk bisa sebenar-benarnya taqwa dan beristiqomah sampai akhir hayat, maka sikap totalitas dalam hidup secara Islam harus dicanangkan. Sebagaimana firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqoroh 208).
Dia sadar harus menerima dan memahami petunjuk Allah yang berkaitan dengan sikap dan perilakunya secara total, tidak pilih-pilih. Sebab pilih-pilih akan membuat fatal, tersesat dari jalan Allah, dan berujung kepada kehinaan dan kesengsaraan. Dari semangatnya membolak-balik lembaran Al Qur’an seorang muslim akan menemukan firman-Nya:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (QS. Al Baqoroh 85).
Khotimah
Tentu saja seorang muslim tidak ingin hidup hina di dunia dan sengsara di akhirat. Semboyan seorang muslim tentunya adalah hidup mulia dan mati syahid. Oleh karena itu, dia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjadi manusia yang mulia dengan ilmu Allah SWT dan dengan ketaqwaan yang dihiaskan dalam dirinya. Secara serius dia belajar bahasa Arab bukan untuk menjadi TKI/TKW di Arab Saudi, tetapi semata-mata untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah supaya bisa melaksanakan ketaatan lebih sempurna. Dengan itu kepribadiannya akan sempurna. Wallahu a’lam bis showab!
Langkah Menyusun Kepribadian Islam
Untuk menyusun kepribadian Islam dalam diri seseorang, langkah pertama yang harus diintroduksikan dan ditanamkan pada diri seseorang adalah aqidah Islam. Sehingga seseorang sadar bahwa dirinya adalah seorang muslim. Bukan seorang Kristen, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Yahudi, bukan Hindu, dan bukan Atheis. Pendeknya dia seorang muslim, bukan kafir. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah (laa ma’buuda) kecuali Allah, lailahaillallah. Dia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. adalah rasul utusan Allah. Artinya tidak, ada satu bentuk cara penyembahan (ibadah) kepada Allah, dalam arti sempit maupun umum, kecuali cara yang telah diterangkan dan dicontohkan oleh Sayyidina Muhammad rasulullah saw.
Iman kepada dua kalimat syahadat itu disadarinya sebagai iman kepada seluruh persoalan yang harus diimani menurut ajaran Islam, baik iman kepada sifat-sifat Allah dan asmaul husnaNya, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul utusan-Nya, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada qodlo dan qodar-Nya, yang baik maupun yang buruk.
Iman kepada hari akhir dia fahami sebagai tempat pertanggungjawaban seluruh keimanan dengan segala konsekuensi dan konsistensi dalam kehidupan di dunia. Ia paham bahwa dunia adalah ladang menanam kebajikan untuk dituai buahnya di akhirat. Sebaliknya, orang yang lalai akan ceroboh dan berbuat yang justru membahayakan dirinya sendiri di akhirat nanti. Barang siapa menabur angin, akan menuai badai. Allah SWT memang menciptakan hidup dan mati ini untuk diuji siapa yang terbaik amalannya. Dia berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al Mulk 2).
Langkah kedua, adalah bertekad menjadikan aqidah Islam sebagai landasan (qoidah) dalam berfikir menilai segala sesuatu dan dijadikan landasan (qoidah) dalam bersikap dan berperilaku. Dengan tekad itu, telah seorang memiliki cara berfikir Islami (aqliyah Islamiyah) dan sikap jiwa Islami (nafsiyah Islami).
Dengan langkah kedua ini seorang muslim telah selesai dalam pembentukan kepribadian Islam (takwinus syakhshiyyah). Dia telah dikatakan telah memiliki kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyah) sekalipun baru tahap awal dalam berfikir secara Islami dan mengolah sikap jiwa secara Islami.
Seorang muslim sudah dikatakan sudah memiliki cara berfikir Islam walaupun belum bisa berbahasa Arab apalagi berijtihad seperti Imam As Syafi’I rahimahullah. Dia sudah dikatakan telah berfikir Islami walaupun baru tahu sholat lima waktu itu wajib, sholat berjama’ah di masjid itu lebih utama 25-27 kali daripada sholat di rumah, judi dan khomer serta undian itu adalah permainan syaithon yang harus dijauhi, menyuap maupun menerima suap itu hukumnya haram. Seorang yang berfikir Islami memang tidak disyaratkan mesti canggih dulu berfikirnya semacam Prof. Baiquni yang bisa menilai bahwa hukum Lavoisier tentang kekekalan massa (bahwa massa suatu benda tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan) adalah bertentangan dengan aqidah tauhid yang menyatakan bahwa semua yang ada di alam semesta, baik itu manusia, hewan, tumbuhan, air, batuan, mineral, energi, suhu, dan lain-lain adalah makhluk ciptaan Allah SWT.
Seorang muslim dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami apabila telah bertekad untuk mengubah sikap hidupnya secara total mengikuti Islam dan istiqomah. Ketika ada orang meminta nasihat kepada Rasulullah saw. yang dengan nasihat itu dia tidak bertanya lagi, beliau saw. menjawab:
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu bersikaplah istiqomah (HR. Muslim).
Asal orang sudah bertekad seperti itu, dia dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami (nafsiyah islamiyah) sekalipun belum banyak beribadah. Sekalipun dia baru melaksanakan sholat wajib dan sedikit sholat sunnah. Sekalipun dia baru belajar sholat tahajjud. Sekalipun dia baru belajar membaca Al Fatihah dan Qulhu. Sikap jiwa dan istiqomah untuk selalu mengendalikan perilaku dengan ajaran Islamlah yang membuat seorang memiliki sikap jiwa Islami. Rasulullah saw. bersabda:
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tiada beriman salah seorang di antara kamu sehingga mempersiapkan hawa nafsunya mengikuti ajaran Islam yang kubawa (HR. An Nawawi).
Meningkatkan kualitas kepribadian Islam
Namun untuk mencapai kesempurnaan hidup, agar menjadi manusia yang lulus terbaik dalam ujian Allah SWT dalam kehidupan di dunia, seorang muslim tidak boleh hanya berhenti di tekad atau status telah memiliki kepribadian Islam. Tapi dia harus memiliki tekad untuk menyempurnakan dirinya menjadi mukmin yang muttaqin.
Oleh karena itu, langkah ketiga, seorang muslim itu membina cara berfikir Islaminya dengan meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu-ilmu Islam, baik aqidah Islamiyah itu sendiri, Al Qur’an, As Sunnah, Tafsir ayat-ayat Al Qur’an, Fiqh, hadits, siroh, bahasa Arab dan lain-lain yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas cara berfikirnya yang senantiasa menghubungkan segala sesuatu yang difikirkannya dengan informasi Islam.
Seorang muslim perlu menambah keyakinannya dengan tambahan pengetahuan tentang aqidah Islam dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Dia akan menemukan Allah SWT menyatakan bahwa agama islamlah yang diridloi oleh Allah dan mencari agama selain Alloh adalah kerugian yang besar. Dia SWT berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (QS. Ali Imran 19).
Juga firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imran 85).
Dengan keyakinan ini dia akan menjaga keislamannya sampai akhir hayatnya sebagaimana tuntunan Allah dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (QS. Ali Imran 102).
Untuk bisa sebenar-benarnya taqwa dan beristiqomah sampai akhir hayat, maka sikap totalitas dalam hidup secara Islam harus dicanangkan. Sebagaimana firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqoroh 208).
Dia sadar harus menerima dan memahami petunjuk Allah yang berkaitan dengan sikap dan perilakunya secara total, tidak pilih-pilih. Sebab pilih-pilih akan membuat fatal, tersesat dari jalan Allah, dan berujung kepada kehinaan dan kesengsaraan. Dari semangatnya membolak-balik lembaran Al Qur’an seorang muslim akan menemukan firman-Nya:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (QS. Al Baqoroh 85).
Khotimah
Tentu saja seorang muslim tidak ingin hidup hina di dunia dan sengsara di akhirat. Semboyan seorang muslim tentunya adalah hidup mulia dan mati syahid. Oleh karena itu, dia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjadi manusia yang mulia dengan ilmu Allah SWT dan dengan ketaqwaan yang dihiaskan dalam dirinya. Secara serius dia belajar bahasa Arab bukan untuk menjadi TKI/TKW di Arab Saudi, tetapi semata-mata untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah supaya bisa melaksanakan ketaatan lebih sempurna. Dengan itu kepribadiannya akan sempurna. Wallahu a’lam bis showab!
Surat Cinta Untuk Kekasih Sejatiku
Bismillahirahmanirahim. Surat ini aku persembahkan untuk kekasih sejatiku.. kekasihku, kumohon terimalah surat ini, dengarkanlah suara hatiku terdalam yang ku tuliskan lewat surat ini.
Duhai kekasih sejatiku tercinta. Wahai kekasih sejatiku terkasih.. Tuahnku semesta alam.. pemilik jiwa ragaku.. yang menggenggam hati ini.. ALLAH SUBAHNAWATA`ALA.
Ya Allah kutuliskan surat cinta ini sebagai ungkapan atas apa yang ku rasa padaMu Ya Allah .. ku bersyukur menjadi hambaMu, menjadi Islam dan memiliki tauladan sorang kekasihMu yang mulia. Muhammad SAW sungguh ku bersyukur memiliki Al-Qur`anulkarim, cahayaMu, kalimatMu yang menenangkanku, menghibur disaat gundahku dan menjadi penuntunku hingga hari tersulitku kelak, hari dimana catatan hidupku didunia akan diperhitungkan, Ya Allah Entah apa jadinya diriku jika aku bukan Islam dan tidak mengenal Islam.Ya Allah Entah apa jadinya diriku ini tanpa adanya belas kasih dan magfirahMu sungguh meruginya aku.
Ya Allah Yang Maha Mengerti. Sungguh ku bersyukur diriku terlahir Islam dan berkat kasihMu hingga saat ini namaMu pun masih selalu terukir di hatiku dank u harap akan selama nya hinga tak ada nafas ku
Tapi ya allah,sunguh aku pun sering mempertanya kan diri ini,hati ,jiwa and raga ini ‘’apa kah memang diri mu sudah benar benar islam? Apa kah benar allah kekasih sejati mu?apa kah kau jujur dan tulus mengata kan kau meNcintaiNya?”
Kemudian sering ter lintas pertanyan yg sunguh membuat hati ku tersayat sayat’’apa bukti nya bahwa kau sunguh seorang islam,ap bukti nya kau adala hamba yg sunguh meNcintaiNya,dan apakah Allah suda menerima cintaMu dan meridhoMu menerima cintaMu dan meridhoi sebagai kekasihNya’’
Ya Allah,, sunguh aku takut, aku malu..nyatanya diri ku memang lebih sering menghianatiMu ,diri ku terlalu sering lupa akan adanya Engkau dihidup ku…terlalu sering beruba lagi menjadi lalai, setela bertekat akan bersunguh-sungguh menjadi lebih baik dalam melakukan segala hal yang Engkau cinta dan tidak melakukan yang Kau benci
Ya Allah aku sunguh lalai menjagaMu ,mungkin karna kecongkakan dan lemaku Ya Allah aku sering mengkambing hitamkan syetan padahal memang semua memang kelemahanku. Ya Allah sunguh kini aku menyadarinya, aku mungkin belum pantas mengakui cinta kepadaMu tanpa ada pembuktian yang nyata.
Duhai kekasihku, ku sering teringat dengan firmanMu dalam sebuah Hadist Rasulullah SAW, bersabda, “ Allah berfirman, `Aku heran denaganmu wahai anak Adam, Aku yang telah menciptakanmu tetapi engkau menyembah selain Aku, Aku yang memberimu rezeki tetapi engkau bersyukur kepada selain Aku, Aku perlihatkan rasa cintaKu kepadamu dengan memberi nikmat padahal aku tidak membutuhkanmu tapi engkau perlihatkan rasa bencimu kepadaKu dengan melakukan maksiiat padahal engkau membutuhkanku. Kebaikanku senantiasa turunkepadamu tapi keburukanmu naik kepadaKu.
Ya Allah sungguh sedih hati ini mengetahui cuarahan hatiMu tersebut membuat air mataku mulai menari-nari dipipi dan secepat kilat hati ini mulai terasa basah karena isak tangisku. Ya Allah aku takut pedihnya siksaMu. Ya Allahu Robbi Allahu goffar Ku mohon ampunilah aku Wahai cinta sejatiku, kekasih hatiku,harapanku terimalah maaf dariku. Astaghfirullahal`adzim, Astaghfirullahal`adzim, Astaghfirullahal`adzim
Banyak pendosa termasuk diriku ketika diingatktak ketika berhenti dari maksiatnya, serta merta menjawab bahwa Allah SWT itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang padahal selain memiliki sifat tersebut Engkau memiliki juga sifat Mahakeras adzab-Nya. Ya Allah sungguh sangat takut diri ini saat firmanMu yang tertulis dalam QS. Al maidah: 98 mengingatkanku
Ya Allah Ya Rahman izinkanlah aku perbaiki semua sebelum waktumu berjumpa denganMu tiba
Duhai kekasih sejatiku, sungguh betapaku malu atas semua yang KAU beri, padahal diriku terlalu sering MembuatMu kecewa. Entah mungkin karena aku terlena sementara Engkau beri aku kesempatan berulangkali agar aku kembali. Ya Allah betapa tak ada apa-apanya aku dihadapanMU
Ya Allah Ya Rahim pemilik cinta dari segala cinta. Aku sadar kini mencintai manusia biasa menimbulkan kekecawaan teramat dalam mencintai manusia khusus nya lawan jenis di luar ikatan suci adalah sebuah kesia-siaan. Kini lebih baik mereka membenciku dari pada KAU membenciku karena hatiku ternodai dan cinta untukMU secara tak sadar sudahku kianati kini kusadar mencintaiMU memang tidak pernah ada kekecewaan karena aku yakin KAU selalu membalas cinta hambaMU
Ya Allah meski tak pantas tapi aku selalu ingin berusaha mencintaiMU setulusnya, sebenar-benarnya aku cinta. Aku ingin Mendekatimu selamanya sehingga apapun diriku ku berharap untuk bertemu denganMU .
Ya Allah meski dosa ku terlalu banyak namun aku tak akan lelah memohon ampunan MU karena engkau selalu memotivasiku dalam firmanMU “ wahai anak ADAM selama engkau berdosa dan berharap kepadaKU niscaya AKU ampuni segala dosa mu yang telah lalu dan aku tidak perdulikan lagi. Wahai anak Adam jikalau dosamu membumbung setinggi langit lalu kau meminta ampunanKU pasti engkau ku ampuni .wahai anak adam.andai engkau datang pada dengan kesalahan sepenuh bumi , kemudian engkau bertemu aku dengan keadaan menyekutukan ku sedikit pun, pasti aku mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula’’
Subhanalloh walhamdulillah walaailaahaillalloh wallahuakbar sungguh maha luasnya ampunanMu itu
Ya Allah Subhanawata`aala kekasih sejatiku dalam sujud panjangku di jening malammu ku memohon ampunanMu terimalah cintaku ya Tuhanku, jangan biarkan ku berpaling dariMu dan janganlah Engkau palingkan wajahMu dari ku karna tak ada daya dan upayaku tampa kasih sayangMu dihidupku tak ada artinya hidupku jika taubatku tak mendapat ridho dariMu.DUHAI KEKASIH SEJATIKU
Duhai kekasih sejatiku tercinta. Wahai kekasih sejatiku terkasih.. Tuahnku semesta alam.. pemilik jiwa ragaku.. yang menggenggam hati ini.. ALLAH SUBAHNAWATA`ALA.
Ya Allah kutuliskan surat cinta ini sebagai ungkapan atas apa yang ku rasa padaMu Ya Allah .. ku bersyukur menjadi hambaMu, menjadi Islam dan memiliki tauladan sorang kekasihMu yang mulia. Muhammad SAW sungguh ku bersyukur memiliki Al-Qur`anulkarim, cahayaMu, kalimatMu yang menenangkanku, menghibur disaat gundahku dan menjadi penuntunku hingga hari tersulitku kelak, hari dimana catatan hidupku didunia akan diperhitungkan, Ya Allah Entah apa jadinya diriku jika aku bukan Islam dan tidak mengenal Islam.Ya Allah Entah apa jadinya diriku ini tanpa adanya belas kasih dan magfirahMu sungguh meruginya aku.
Ya Allah Yang Maha Mengerti. Sungguh ku bersyukur diriku terlahir Islam dan berkat kasihMu hingga saat ini namaMu pun masih selalu terukir di hatiku dank u harap akan selama nya hinga tak ada nafas ku
Tapi ya allah,sunguh aku pun sering mempertanya kan diri ini,hati ,jiwa and raga ini ‘’apa kah memang diri mu sudah benar benar islam? Apa kah benar allah kekasih sejati mu?apa kah kau jujur dan tulus mengata kan kau meNcintaiNya?”
Kemudian sering ter lintas pertanyan yg sunguh membuat hati ku tersayat sayat’’apa bukti nya bahwa kau sunguh seorang islam,ap bukti nya kau adala hamba yg sunguh meNcintaiNya,dan apakah Allah suda menerima cintaMu dan meridhoMu menerima cintaMu dan meridhoi sebagai kekasihNya’’
Ya Allah,, sunguh aku takut, aku malu..nyatanya diri ku memang lebih sering menghianatiMu ,diri ku terlalu sering lupa akan adanya Engkau dihidup ku…terlalu sering beruba lagi menjadi lalai, setela bertekat akan bersunguh-sungguh menjadi lebih baik dalam melakukan segala hal yang Engkau cinta dan tidak melakukan yang Kau benci
Ya Allah aku sunguh lalai menjagaMu ,mungkin karna kecongkakan dan lemaku Ya Allah aku sering mengkambing hitamkan syetan padahal memang semua memang kelemahanku. Ya Allah sunguh kini aku menyadarinya, aku mungkin belum pantas mengakui cinta kepadaMu tanpa ada pembuktian yang nyata.
Duhai kekasihku, ku sering teringat dengan firmanMu dalam sebuah Hadist Rasulullah SAW, bersabda, “ Allah berfirman, `Aku heran denaganmu wahai anak Adam, Aku yang telah menciptakanmu tetapi engkau menyembah selain Aku, Aku yang memberimu rezeki tetapi engkau bersyukur kepada selain Aku, Aku perlihatkan rasa cintaKu kepadamu dengan memberi nikmat padahal aku tidak membutuhkanmu tapi engkau perlihatkan rasa bencimu kepadaKu dengan melakukan maksiiat padahal engkau membutuhkanku. Kebaikanku senantiasa turunkepadamu tapi keburukanmu naik kepadaKu.
Ya Allah sungguh sedih hati ini mengetahui cuarahan hatiMu tersebut membuat air mataku mulai menari-nari dipipi dan secepat kilat hati ini mulai terasa basah karena isak tangisku. Ya Allah aku takut pedihnya siksaMu. Ya Allahu Robbi Allahu goffar Ku mohon ampunilah aku Wahai cinta sejatiku, kekasih hatiku,harapanku terimalah maaf dariku. Astaghfirullahal`adzim, Astaghfirullahal`adzim, Astaghfirullahal`adzim
Banyak pendosa termasuk diriku ketika diingatktak ketika berhenti dari maksiatnya, serta merta menjawab bahwa Allah SWT itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang padahal selain memiliki sifat tersebut Engkau memiliki juga sifat Mahakeras adzab-Nya. Ya Allah sungguh sangat takut diri ini saat firmanMu yang tertulis dalam QS. Al maidah: 98 mengingatkanku
Ya Allah Ya Rahman izinkanlah aku perbaiki semua sebelum waktumu berjumpa denganMu tiba
Duhai kekasih sejatiku, sungguh betapaku malu atas semua yang KAU beri, padahal diriku terlalu sering MembuatMu kecewa. Entah mungkin karena aku terlena sementara Engkau beri aku kesempatan berulangkali agar aku kembali. Ya Allah betapa tak ada apa-apanya aku dihadapanMU
Ya Allah Ya Rahim pemilik cinta dari segala cinta. Aku sadar kini mencintai manusia biasa menimbulkan kekecawaan teramat dalam mencintai manusia khusus nya lawan jenis di luar ikatan suci adalah sebuah kesia-siaan. Kini lebih baik mereka membenciku dari pada KAU membenciku karena hatiku ternodai dan cinta untukMU secara tak sadar sudahku kianati kini kusadar mencintaiMU memang tidak pernah ada kekecewaan karena aku yakin KAU selalu membalas cinta hambaMU
Ya Allah meski tak pantas tapi aku selalu ingin berusaha mencintaiMU setulusnya, sebenar-benarnya aku cinta. Aku ingin Mendekatimu selamanya sehingga apapun diriku ku berharap untuk bertemu denganMU .
Ya Allah meski dosa ku terlalu banyak namun aku tak akan lelah memohon ampunan MU karena engkau selalu memotivasiku dalam firmanMU “ wahai anak ADAM selama engkau berdosa dan berharap kepadaKU niscaya AKU ampuni segala dosa mu yang telah lalu dan aku tidak perdulikan lagi. Wahai anak Adam jikalau dosamu membumbung setinggi langit lalu kau meminta ampunanKU pasti engkau ku ampuni .wahai anak adam.andai engkau datang pada dengan kesalahan sepenuh bumi , kemudian engkau bertemu aku dengan keadaan menyekutukan ku sedikit pun, pasti aku mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula’’
Subhanalloh walhamdulillah walaailaahaillalloh wallahuakbar sungguh maha luasnya ampunanMu itu
Ya Allah Subhanawata`aala kekasih sejatiku dalam sujud panjangku di jening malammu ku memohon ampunanMu terimalah cintaku ya Tuhanku, jangan biarkan ku berpaling dariMu dan janganlah Engkau palingkan wajahMu dari ku karna tak ada daya dan upayaku tampa kasih sayangMu dihidupku tak ada artinya hidupku jika taubatku tak mendapat ridho dariMu.DUHAI KEKASIH SEJATIKU
MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBAITAN KHALIFAH
Kedaulatan ada di tangan syariah dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Itulah di antara landasan pemerintahan Islam, Khilafah. Karenanya, seseorang akan dapat menjadi pemimpin kaum Muslim (Khalifah) jika diberi mandat kekuasaan oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan tersebut. Di sinilah diperlukan adanya akad antara rakyat dan calon khalifah untuk menjadi khalifah atas dasar ridha dan pilihan, tanpa intimidasi dan paksaan. Allah Swt. melalui Rasulullah saw. telah menggariskan bahwa akad tersebut adalah baiat.
Sebagaimana layaknya sebuah akad, dalam baiat perlu ada ijâb (penyerahan) dan qabûl (penerimaan). Rasulullah saw. dan para sahabatnya mencontohkan bahwa ijâb berasal dari rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Calon khalifah mengabulkannya. Ijâb-nya berupa penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Khalifah untuk menerapkan Islam dan penyerahan ketaatan mereka kepadanya. Qabûl-nya berupa penerimaan hal tersebut oleh calon khalifah.
Banyak hadits sahih yang menjelaskan bahwa seseorang sah sebagai khalifah jika diangkat melalui proses baiat. Para sahabat pun melakukan hal yang sama. Tidak pernah seseorang menjadi khalifah tanpa dibaiat. Abu Bakar menjadi khalifah bukan saat hasil musyawarah memutuskan beliau sebagai khalifah, tetapi setelah beliau dibaiat di Saqifah. Umar menjadi khalifah bukan setelah pengumuman Abu Bakar tentang hasil musyawarah kaum Muslim, melainkan setelah beliau dibaiat. Demikian juga dengan Utsman dan Ali. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode baku (tharîqah) pengangkatan khalifah. Sekalipun disetujui mayoritas rakyat atau wakilnya, seseorang belum menjadi khalifah sebelum dibaiat. Begitu juga, kudeta atau sistem putera mahkota bukanlah metode pengangkatan khalifah.
Dua Jenis Baiat
Siapapun yang mengkaji hadis Nabi saw. akan menemukan bahwa baiat terhadap khalifah ada dua jenis: (1) Baiat In‘iqâd, yakni baiat yang menunjukkan legalitas orang yang dibaiat sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti; (2) Baiat ‘Ammah/Baiat Thâ‘ah, yaitu baiat kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiat thâ‘ah bukanlah untuk mengangkat khalifah, karena khalifah sudah ada.
Kedua baiat ini juga didasarkan pada Ijma Sahabat. Misalnya, Abu Bakar diangkat oleh sebagian Sahabat sebagai representasi dari semua Sahabat, baik kalangan Muhajirin maupun Anshar. Setelah pembaiatan dilakukan di Saqifah, esoknya kaum Muslim dikumpulkan di masjid. Abu Bakar berdiri di Mimbar. Sebelum Abu Bakar berbicara, Umar bin Khathab antara lain berbicara, “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan urusan kalian kepada pundak orang terbaik di antara kalian. Dia Sahabat yang berdua bersama Rasul di gua. Berdirilah kalian, baiatlah dia."
Para Sahabat pun membaiat Abu Bakar setelah pembaiatan di Saqifah. Pembaiatan wakil Sahabat kepada Abu Bakar di Saqifah merupakan baiat in‘iqâd, sedangkan pembaiatan kaum Muslim kepadanya di masjid merupakan baiat thâ‘ah. Hal serupa terjadi pada khalifah lainnya. Ini merupakan gambaran dan penegasan tentang keridhaan rakyat kepada Khalifah.
Berbeda dengan baiat in‘iqâd yang bersifat pilihan, baiat thâ‘ah wajib atas setiap orang, yang ditunjukkan dengan ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah terpilih; taat pada hukum dan perundang-undangan yang ditetapkannya.
Pemilihan Khalifah
Dalam Islam penetapan Khalifah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhalifahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khalifah. Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khalifah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
Secara ringkas, prinsip umum pergantian Khalifah dalam Islam dicontohkan dalam praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Kekuasaan ada di tangan umat.
2. Baiat merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan haknya itu atau tidak, itu terserah mereka.
3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat in‘iqâd. Yang penting berjamaah dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin.
4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara (Khalifah) kecuali jika dilakukan oleh sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim.
Adapun langkah-langkahnya adalah:
1. Penetapan kapan Khalifah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang khalifah. Khalifah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama sebagai seorang khalifah (Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, dan adil) atau meninggal dunia.
Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khalifah saatnya diganti maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik.
2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khalifah masih hidup, dilakukanlah penjaringan bakal calon khalifah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau. Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khalifah setelah dibaiat oleh kaum Muslim pasca kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab.
Adapun jika Khalifah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dulu, dan penjaringan dilakukan setelah meninggal Khalifah, maka ditunjuk seorang amir yang mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara (amir mu'aqqah) hingga dibaiatnya khalifah pengganti.
Tatacara penjaringan calon khalifah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat menentukan penggantinya, khalifah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka melihat calon khalifah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membaiat umar. Lain lagi kondisinya pada saat penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut Rasul sebagai ahli surga (Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya). Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khalifah. Pada saat pengangkatan Ali pasca kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya menaatinya.
Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim (Majelis Umat) atau kaum Muslim secara umum (lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi). Teknis mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan dan sesuai realitas.
3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khalifah. Cara yang dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip “berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin”, misalnya melalui Pemilihan Umum Khalifah untuk mengetahui pilihan umat.
4. Setelah diketahui ada calon khalifah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah oleh Khalifah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit, dari pihak pemberi baiat. Setelah terjadinya baiat in‘iqâd berarti khalifah baru telah terpilih.
5. Lakukan baiat thâ‘ah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim untuk menaati Khalifah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang tidak sempat melakukan baiat in‘iqâd menunjukkan ketatannya kepada Khalifah terpilih. Saat sekarang, baiat thâ‘ah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan menunjukkan sikap ketaatan, dll.
Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak, mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara langkah teknis yang dapat ditempuh adalah:
1. Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khalifah, baik karena khalifah memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena khalifah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja Mu’awin Tafwidl (Pembantu Khalifah) ditetapkan yang ditetapkan untuk itu.
2. Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim menjaring bakal calon khalifah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dll. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat khalifah baik syarat mutlak (syurûth in‘iqâd) maupun syarat keutamaan (syurûth afdhaliyah), Majelis Umat membatasi jumlah calon khalifah.
3. Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khalifah.
4. Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak. Berikutnya:
a. Jika Khalifah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya, maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khalifah tersebut. Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khalifah baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khalifah pengganti. Lalu, khalifah terpilih dibaiat.
b. Jika Khalifah sedang sakit keras, calon khalifah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khalifah mengumumkan ke publik bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsi Kekhalifahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan penggantian Kekhalifahan dengan pembaiatan.
c. Jika Khalifah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat in‘iqâd untuk khalifah baru.
5. Majelis Umat melakukan baiat in‘iqâd terhadap calon khalifah, yang ditunjukkan dengana danya proses ijâb dan qabûl.
6. Khalifah baru sudah terpilih.
7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khalifah baru untuk mengenalkan bahwa dia adalah khalifah yang wajib ditaati.
8. Berikutnya, Khalifah dapat menerima ucapan baiat thâ‘ah dari masyarakat, baik lisan maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah tersebut.
Pengangkatan Khalifah Pertama Kali
Sekarang Kekhalifahan tidak ada. Teknis pengangkatan khalifah pertama kali antara lain dapat dilakukan dengan:
1. Rakyat menuntut penerapan Islam. Hal ini akan berproses. Ketika wakil rakyat dan kepala negara memang berjuang untuk tegaknya Islam dan menyatukan umat dalam Khilafah, maka mereka akan mengubah sistem sekular dengan sistem Khilafah.
2. Jika tuntutan masyarakat tidak diindahkan oleh pemimpinnya, konsekuensinya, umat tidak akan percaya pada sistem pemilihan yang ada, termasuk buhul kekuatan seperti militer pun tidak mempercayainya. Dalam kondisi demikian:
i.Orang-orang yang hendak menghilangkan kezaliman yang ada dengan penerapan kekuasaan Islam mengajukan seseorang yang layak sebagai khalifah. Orang tersebut, tentu, yang dikenal baik di tengah masyarakat.
ii.Dibentuklah ahlul halli wal ‘aqdhi dari mayoritas berbagai kalangan tokoh, pengusaha, militer, dll yang dapat dipandang sebagai represntasi masyarakat. Ahlul halli wal ‘aqdhi tersebut membaiat calon khalifah dengan ridha dan pilihan menjadi khalifah dengan baiat in‘iqâd.
iii.Umumkan Khalifah terpilih kepada publik. Kaum Muslim lainnya di negeri tersebut membaiat Khalifah dengan sikap taat dan tunduk kepadanya (baiat thâ‘ah). Dengan itu, kekuasaan yang ada sebelumnya secara otomatis telah kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya.
iv.Terbentuk Kekhilafahan pertama.
Demikianlah detail mekanisme pengangkatan Khalifah, dengan metodenya adalah baiat.
Semua proses di atas tentu hanya mungkin terjadi ketika mayoritas masyarakat memang menghendaki sistem Khilafah dan pengangkatan seorang khalifah, yang akan menerapkan syariah secara total dalam seluruh aspek kehidupan Islam, sekaligus mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Sebagaimana layaknya sebuah akad, dalam baiat perlu ada ijâb (penyerahan) dan qabûl (penerimaan). Rasulullah saw. dan para sahabatnya mencontohkan bahwa ijâb berasal dari rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Calon khalifah mengabulkannya. Ijâb-nya berupa penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Khalifah untuk menerapkan Islam dan penyerahan ketaatan mereka kepadanya. Qabûl-nya berupa penerimaan hal tersebut oleh calon khalifah.
Banyak hadits sahih yang menjelaskan bahwa seseorang sah sebagai khalifah jika diangkat melalui proses baiat. Para sahabat pun melakukan hal yang sama. Tidak pernah seseorang menjadi khalifah tanpa dibaiat. Abu Bakar menjadi khalifah bukan saat hasil musyawarah memutuskan beliau sebagai khalifah, tetapi setelah beliau dibaiat di Saqifah. Umar menjadi khalifah bukan setelah pengumuman Abu Bakar tentang hasil musyawarah kaum Muslim, melainkan setelah beliau dibaiat. Demikian juga dengan Utsman dan Ali. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode baku (tharîqah) pengangkatan khalifah. Sekalipun disetujui mayoritas rakyat atau wakilnya, seseorang belum menjadi khalifah sebelum dibaiat. Begitu juga, kudeta atau sistem putera mahkota bukanlah metode pengangkatan khalifah.
Dua Jenis Baiat
Siapapun yang mengkaji hadis Nabi saw. akan menemukan bahwa baiat terhadap khalifah ada dua jenis: (1) Baiat In‘iqâd, yakni baiat yang menunjukkan legalitas orang yang dibaiat sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti; (2) Baiat ‘Ammah/Baiat Thâ‘ah, yaitu baiat kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiat thâ‘ah bukanlah untuk mengangkat khalifah, karena khalifah sudah ada.
Kedua baiat ini juga didasarkan pada Ijma Sahabat. Misalnya, Abu Bakar diangkat oleh sebagian Sahabat sebagai representasi dari semua Sahabat, baik kalangan Muhajirin maupun Anshar. Setelah pembaiatan dilakukan di Saqifah, esoknya kaum Muslim dikumpulkan di masjid. Abu Bakar berdiri di Mimbar. Sebelum Abu Bakar berbicara, Umar bin Khathab antara lain berbicara, “Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan urusan kalian kepada pundak orang terbaik di antara kalian. Dia Sahabat yang berdua bersama Rasul di gua. Berdirilah kalian, baiatlah dia."
Para Sahabat pun membaiat Abu Bakar setelah pembaiatan di Saqifah. Pembaiatan wakil Sahabat kepada Abu Bakar di Saqifah merupakan baiat in‘iqâd, sedangkan pembaiatan kaum Muslim kepadanya di masjid merupakan baiat thâ‘ah. Hal serupa terjadi pada khalifah lainnya. Ini merupakan gambaran dan penegasan tentang keridhaan rakyat kepada Khalifah.
Berbeda dengan baiat in‘iqâd yang bersifat pilihan, baiat thâ‘ah wajib atas setiap orang, yang ditunjukkan dengan ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah terpilih; taat pada hukum dan perundang-undangan yang ditetapkannya.
Pemilihan Khalifah
Dalam Islam penetapan Khalifah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhalifahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khalifah. Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khalifah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
Secara ringkas, prinsip umum pergantian Khalifah dalam Islam dicontohkan dalam praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Kekuasaan ada di tangan umat.
2. Baiat merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan haknya itu atau tidak, itu terserah mereka.
3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat in‘iqâd. Yang penting berjamaah dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin.
4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara (Khalifah) kecuali jika dilakukan oleh sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim.
Adapun langkah-langkahnya adalah:
1. Penetapan kapan Khalifah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang khalifah. Khalifah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama sebagai seorang khalifah (Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, dan adil) atau meninggal dunia.
Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khalifah saatnya diganti maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik.
2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khalifah masih hidup, dilakukanlah penjaringan bakal calon khalifah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau. Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khalifah setelah dibaiat oleh kaum Muslim pasca kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab.
Adapun jika Khalifah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dulu, dan penjaringan dilakukan setelah meninggal Khalifah, maka ditunjuk seorang amir yang mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara (amir mu'aqqah) hingga dibaiatnya khalifah pengganti.
Tatacara penjaringan calon khalifah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat menentukan penggantinya, khalifah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka melihat calon khalifah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membaiat umar. Lain lagi kondisinya pada saat penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut Rasul sebagai ahli surga (Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya). Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khalifah. Pada saat pengangkatan Ali pasca kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya menaatinya.
Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim (Majelis Umat) atau kaum Muslim secara umum (lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi). Teknis mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan dan sesuai realitas.
3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khalifah. Cara yang dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip “berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin”, misalnya melalui Pemilihan Umum Khalifah untuk mengetahui pilihan umat.
4. Setelah diketahui ada calon khalifah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah oleh Khalifah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit, dari pihak pemberi baiat. Setelah terjadinya baiat in‘iqâd berarti khalifah baru telah terpilih.
5. Lakukan baiat thâ‘ah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim untuk menaati Khalifah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang tidak sempat melakukan baiat in‘iqâd menunjukkan ketatannya kepada Khalifah terpilih. Saat sekarang, baiat thâ‘ah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan menunjukkan sikap ketaatan, dll.
Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak, mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara langkah teknis yang dapat ditempuh adalah:
1. Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khalifah, baik karena khalifah memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena khalifah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja Mu’awin Tafwidl (Pembantu Khalifah) ditetapkan yang ditetapkan untuk itu.
2. Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim menjaring bakal calon khalifah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dll. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat khalifah baik syarat mutlak (syurûth in‘iqâd) maupun syarat keutamaan (syurûth afdhaliyah), Majelis Umat membatasi jumlah calon khalifah.
3. Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khalifah.
4. Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak. Berikutnya:
a. Jika Khalifah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya, maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khalifah tersebut. Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khalifah baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khalifah pengganti. Lalu, khalifah terpilih dibaiat.
b. Jika Khalifah sedang sakit keras, calon khalifah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khalifah mengumumkan ke publik bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsi Kekhalifahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan penggantian Kekhalifahan dengan pembaiatan.
c. Jika Khalifah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat in‘iqâd untuk khalifah baru.
5. Majelis Umat melakukan baiat in‘iqâd terhadap calon khalifah, yang ditunjukkan dengana danya proses ijâb dan qabûl.
6. Khalifah baru sudah terpilih.
7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khalifah baru untuk mengenalkan bahwa dia adalah khalifah yang wajib ditaati.
8. Berikutnya, Khalifah dapat menerima ucapan baiat thâ‘ah dari masyarakat, baik lisan maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah tersebut.
Pengangkatan Khalifah Pertama Kali
Sekarang Kekhalifahan tidak ada. Teknis pengangkatan khalifah pertama kali antara lain dapat dilakukan dengan:
1. Rakyat menuntut penerapan Islam. Hal ini akan berproses. Ketika wakil rakyat dan kepala negara memang berjuang untuk tegaknya Islam dan menyatukan umat dalam Khilafah, maka mereka akan mengubah sistem sekular dengan sistem Khilafah.
2. Jika tuntutan masyarakat tidak diindahkan oleh pemimpinnya, konsekuensinya, umat tidak akan percaya pada sistem pemilihan yang ada, termasuk buhul kekuatan seperti militer pun tidak mempercayainya. Dalam kondisi demikian:
i.Orang-orang yang hendak menghilangkan kezaliman yang ada dengan penerapan kekuasaan Islam mengajukan seseorang yang layak sebagai khalifah. Orang tersebut, tentu, yang dikenal baik di tengah masyarakat.
ii.Dibentuklah ahlul halli wal ‘aqdhi dari mayoritas berbagai kalangan tokoh, pengusaha, militer, dll yang dapat dipandang sebagai represntasi masyarakat. Ahlul halli wal ‘aqdhi tersebut membaiat calon khalifah dengan ridha dan pilihan menjadi khalifah dengan baiat in‘iqâd.
iii.Umumkan Khalifah terpilih kepada publik. Kaum Muslim lainnya di negeri tersebut membaiat Khalifah dengan sikap taat dan tunduk kepadanya (baiat thâ‘ah). Dengan itu, kekuasaan yang ada sebelumnya secara otomatis telah kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya.
iv.Terbentuk Kekhilafahan pertama.
Demikianlah detail mekanisme pengangkatan Khalifah, dengan metodenya adalah baiat.
Semua proses di atas tentu hanya mungkin terjadi ketika mayoritas masyarakat memang menghendaki sistem Khilafah dan pengangkatan seorang khalifah, yang akan menerapkan syariah secara total dalam seluruh aspek kehidupan Islam, sekaligus mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
KEMULIAAN ISLAM DAN KAUM MUSLIM Hanya dengan Syariah, Khilafah, dan Jihad
Penerapan ideologi Kapitalisme telah menimbulkan problem kehidupan yang dahsyat. Rakyat dunia telah dan tetap terjajah dan dieksploitasi; kekayaan alamnya dikeruk; keringat dan darah mereka diperas. Semua itu demi kesejahteraan negara maju. Kekayaan dunia pun terpusat di negara maju dan para kapitalis. Jurang kemiskinan semakin dalam, termasuk di Amerika. Bencana badai Katrina telah menyingkap kemiskinan luas yang terjadi di Oregon dan perlakukan diskriminatif atas warga miskin yang mayoritas negro.
Realita kehidupan sosial juga sangat buruk. Pembunuhan, perkosaan, pencurian, perampokan, pelecehan, dan segala macam kejahatan terjadi setiap jam. Perilaku seks menyimpang semakin menyebar, institusi keluarga dan perkawinan hancur, penyakit AIDS dan lainnya menjadi ancaman, aborsi terjadi 2 juta/tahun atau 5.479 aborsi/hari (di AS). Angka bunuh diri juga meningkat tajam. Itulah wajah peradaban Kapitalisme.
Berbagai tambal sulam yang telah dilakukan tidak menghasilkan perbaikan berarti. Kerusakan masih akan terus berlanjut. Harapan akan perbaikan pun sangat kecil bahkan mustahil. Di sisi lain, masyarakat dunia telah lebih dulu menyaksikan runtuhnya ideologi Sosialisme-komunis.
Karena itu, saat ini masyarakat dunia tengah menanti bangkitnya satu ideologi yang menyelamatkan mereka, yaitu Islam. Hal ini bukan tidak dipahami oleh Barat dan AS. Barat dan AS khususnya tidak ingin kepemimpinan dunia dan penguasaan atas kekayaan dunia lepas dari tangan mereka. Karenanya, mereka pun menyerang Islam. Saat ini serangan mereka itu dipusatkan pada tiga konsep Islam, yaitu: syariah, Khilafah, dan jihad. Mengapa?
Syariah adalah Solusi
Problem hidup akibat ideologi Kapitalisme terjadi secara multidimensional. Ideologi penyelamatnya haruslah ideologi yang memberikan aturan/sistem menyeluruh yang menyelesaikan problem multidimensi itu. Secara pasti, Islam memiliki sistem yang mengatur semua dimensi kehidupan manusia. Sebab, Islam adalah akidah dan sistem aturan yang diberikan oleh Allah, Zat Pencipa manusia yang Mahatahu atas segala sesuatu. Allah sendiri telah menegaskan dalam al-Quran:
]وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ[
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Allah juga menegaskan, syariat Islam yang menyeluruh itu merupakan rahmat bagi seluruh manusia. Karenanya, syariat Islam menjamin dan secara real mampu memberikan keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman hidup bagi semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim yang hidup di bawah pengaturannya. Syariah secara pasti akan menggusur sistem Kapitalisme yang selama ini terus menerus mendatangkan keburukan dan ancaman bagi umat manusia.
Andai manusia memahami gambaran sesungguhnya dan apa yang diberikan oleh syariah, lalu membandingkannya dengan gambaran dan apa yang diberikan oleh ideologi Kapitalisme, maka akal sehat akan menuntun mereka mengambil Islam dan mencampakkan Kapitalisme.
Karena itu, Barat (AS khususnya), sangat berkepentingan untuk mencitraburukkan syariah. Mereka pun mencitrakan syariah identik dengan kemunduran, kembali ke zaman onta, keterbelakangan, kemiskinan, kekerasan, brutal, barbar, totaliter, dll. Tujuannya adalah untuk menghalangi umat manusia melihat gambaran syariah yang sesungguhnya serta menimbulkan sikap antipati terhadap Islam dan syariahnya.
Syariah pun dicoba didistorsi sebatas rukun Islam saja; syariah tidak perlu diterapkan secara formal, cukup substansinya saja. Hal itu untuk menjauhkan kaum Muslim dari ide formalisasi syariah. Upaya itu akan gagal. Banyak hukum syariah yang ditetapkan secara pasti dengan nash qath‘i. Meyakini hukum-hukum ini adalah bagian dari perkara i‘tiqâdi. Pelaksanaan hukum-hukum syariah merupakan konsekuensi keyakinan seorang Muslim terhadap akidah Islam. Selama kaum Muslim masih meyakini akidah Islam, mereka tetap merasa terpanggil untuk menerapkan syariah.
Khilafah adalah Pemersatu, Pembawa Kemajuan dan Kebangkitan Umat
Kaum Muslim sebenarnya memiliki semua prasyarat untuk menjadi umat unggul memimpin dunia. Kaum Muslim memiliki SDA yang sangat melimpah, SDM yang berpotensi tinggi, dan ideologi yang agung. Namun, belajar dari sejarah umat manusia, suatu ideologi akan menjadikan umatnya disegani ketika umatnya menerapkan dan mengemban ideologi itu dalam institusi negara. Demikian juga dengan ideologi islam. Tiga belas abad perjalanan Khilafah telah menjadi bukti. Tegaknya Khilafah Islamiyah yang menerapkan ideologi Islam merupakan kunci bangkitnya kaum Muslim. Khilafah dengan sistem aturannya yang adil, menyejahterakan, dan menenteramkan akan menggusur Kapitalisme dan mencabut hegemoni Barat (AS).
Khilafah juga mampu mempersatukan semua potensi yang dimiliki kaum Muslim. Sebab, Khilafah mengemban sistem aturan yang agung; negaranya lintas bangsa, tidak terjebak sekat nasionalisme; sistemnya adil tanpa diskriminasi dan pandangan rasial. Sepanjang sejarah umat manusia, hanya Khilafahlah yang sudah terbukti mampu menyatukan dan melebur bangsa-bangsa yang mendiami wilayah antara Xinjiang (Cina Barat) di timur melintasi Timur Tengah, Mesir, Afrika Utara sampai Maroko dan Spanyol di Barat; antara India di selatan melintasi Asia Selatan, Timur Tengah, wilayah Kaukasus sampai semenanjung Krim di Utara.
Khilafah juga membawa kesejahteraan, kebangkitan sains teknologi, dan kemajuan umat. Khilafah pernah berhasil menjadikan rakyatnya berkecukupan sehingga tidak ada seorang pun yang mau mengambil harta zakat. Belum ada sistem selain Islam baik Yunani, Romawi, Mesir Kuno, Imperium Persia, Imperium Romawi, Eropa Abad Pertengahan dan Barat kapitalis hingga sekarang, yang mampu menyamai prestasi itu.
Andalusia ketika diperintah kaum Muslim menjadi pusat peradaban. Universitasnya menjadi pusat pandangan para pelajar di seluruh Eropa. Kemajuan kaum Muslim jauh melampaui Eropa kala itu. Prof. Sigrid Hunke (Matahari Allah di atas Dunia Barat, hlm. 541) menyatakan:
Sungguh, Barat tetap dalam keterbelakangan secara kultural, pemikiran, dan ekonomi sepanjang waktu ketika Eropa mengasingkan dirinya dari Islam. Eropa belum mulai bersinar dan bangkit kecuali ketika Eropa mulai bersinggungan dengan Arab (Khilafah dan kaum Muslim, pen.) secara praktis, politik dan perdagangan. Pemikiran Eropa setelah tidur berabad-abad mulai bangun karena kedatangan sains, teknologi, dan sastra Arab.
Jika sekarang sains dan teknologi kaum Muslim tertinggal, justru karena tidak adanya institusi Khilafah. Kembalinya Khilafah sama dengan kembalinya kemajuan multidimensi kaum Muslim.
Jihad: Pembebas Umat Manusia
Di antara penghalang terbesar Barat dan AS untuk menguasai negeri Islam adalah ide dan ruh jihad, yakni mengerahkan segala daya upaya dalam perang di jalan Allah melawan kaum kafir secara langsung maupun tidak, yang terus mengalir dalam tubuh kaum Muslim. Ketika Perang Salib, Eropa hampir dua setengah abad berusaha menguasai negeri-negeri Muslim. Namun mereka gagal total. Begitu pun di Indonesia. Perlawanan kepada penjajah Belanda, Spanyol, Portugis maupun Inggris tidak kunjung henti dilakukan oleh para ulama berserta santri mereka, tidak lain karena dorongan ruh jihad. Kebangkitan nasional—ditandai dengan lahirnya Budi Utomo tahun 1908—sebenarnya telah didahului oleh kebangkitan pesantren dan kaum santri karena dorongan ruh jihad. Begitu pula invasi AS ke negeri Muslim seperti Afgan dan Irak terus mendapat perlawanan dari kaum Muslim, juga karena dorongan ruh jihad. Kaum Muslim menyadari, jika suatu negeri Muslim diinvasi musuh, maka kaum Muslim di negeri itu wajib berjihad mempertahankan wilayah itu dan mengusir musuh.
Karenanya, Barat berupaya menghapus kata jihad dari kosakata kaum Muslim. Upaya itu pasti gagal, karena menghapus kata jihad sama saja menghapus banyak ayat al-Quran. Tentu saja itu akan dilawan oleh kaum Muslim siapapun dan dimanapun. Barat sadar akan hal ini. Barat pun merasa cukup jika berhasil menghilangkan makna jihad sebagai perang melawan orang-orang kafir di jalan Allah. Makna jihad pun didistorsi sebatas jihâd an-nafs (perang melawan hawa nafsu) atau bersungguh-sungguh seperti dalam menuntut ilmu, berekonomi, dll.
Barat juga menyerang konsep jihad karena jihad merupakan politik luar negeri Khilafah dalam rangka menyebarluaskan ideologi Islam ke seluruh dunia. Barat berupaya menggambarkan jihad sebagai aktivitas barbar, membunuhi penduduk sipil dan orang tak berdosa; sebagai penindasan, penjajahan, pemaksaan untuk memeluk Islam, dll.
Yang benar, dalam konteks dakwah oleh negara (Khilafah), jihad (perang) dalam Islam hanya digunakan untuk menghilangkan penghalang fisik yang menghalangi manusia melihat keagungan dan keadilan Islam. Syariah telah memberikan hukum tentang jihad, yaitu tidak boleh membunuh penduduk sipil yang tidak terlibat perang, wanita, anak-anak, orang tua, para rahib dan agamawan; tidak boleh menghancurkan bangunan tempat ibadah, menebangi pepohonan, dan membunuhi binatang. Syariah menetapkan hukum itu dua belas abad lebih sebelum lahirnya Konvensi Jenewa.
Para ulama juga menyatakan bahwa jihad harus didahului dengan proses dakwah. Bahkan syariah menetapkan, jika kaum Muslim telah mengepung musuh, maka sebelum mereka diserang, mereka harus ditawari terlebih dulu untuk memeluk Islam atau membayar jizyah.
Ath-Thabari (Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 8/138) mengisahkan, salah satu sayap pasukan kaum Muslim telah menyerang dan menaklukkan Samarqand tanpa menyerukan Islam dan jizyah lebih dahulu. Lalu utusan penduduk Samarqand meminta izin panglima pasukan kaum Muslim, Sulaiman ibn Abi as-Sari, untuk menghadap Khalifah Umar dalam rangka mengadukan kejadian itu. Umar lalu memerintahkan Sulaiman agar menghadirkan qadhi untuk memutuskan masalah tersebut. Qadhi an-Naji memenangkan gugatan penduduk Samarqand dan memerintahkan pasukan kaum Muslim untuk keluar dari kota itu seperti sebelumnya dan sama-sama berperang sehingga terjadi perjanjian baru atau kemenangan. Melihat keadilan ini, penduduk Samarqand menarik tuntutannya; mereka rela dengan keadaan yang ada dan menghendaki agar pasukan kaum Muslim tidak keluar. Pasukan pun hidup bersama dan membaur dengan penduduk Samarqand. Penduduk Samarqand pun melebur dan menyatu menjadi bagian integral umat Islam.
Jihad juga bukan untuk menindas dan mengekploitasi bangsa lain. Kenyataan sejarah menunjukkan, bangsa-bangsa yang ditaklukkan kaum Muslim, setelah ditaklukkan menjadi satu kesatuan dengan yang menaklukkan, memiliki hak yang sama atas jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan dari Khilafah. Wilayah yang ditaklukkan dengan jihad menikmati kesejahteraan sama dengan seluruh wilayah Khilafah. Tidak ada sedikit pun catatan sejarah yang menunjukkan bahwa jihad dilakukan untuk menjajah. Catatan penaklukan untuk menjajah justru dimiliki oleh Eropa dan Amerika dari dulu hingga sekarang. Jika jihad untuk menjajah, tentu komunitas Kristen Koptik tidak akan membantu pasukan Amr bin al-‘Ash ketika menaklukkan Mesir. Demikian juga tidak akan terjadi sebagaimana yang dikisahkan al-Baladzuri (Futûh al-Buldân, hlm. 139). Diceritakan, kaum Muslim menaklukkan kota Hims di Siria. Jizyah lalu dipungut dari penduduknya. Akan tetapi kemudian, kaum Muslim harus meninggalkan kota itu dan tidak bisa lagi menjaga dan melindunginya. Abu Ubaidah, panglima kaum Muslim ketika itu, lantas mengumpulkan penduduk Hims dan mengembalikan jizyah mereka seraya berkata, "Kami tidak bisa lagi membantu dan melindungi kalian. Kalian sekarang bebas." Namun, penduduk Hims justru menjawab, "Pemerintahan Anda dan keadilan Anda bagi kami lebih mulia daripada kezaliman dan penindasan yang kami alami sebelum Anda datang."
Jihad juga bukan untuk memaksa non-Muslim agar memeluk Islam. Haram hukumnya memaksa non-Muslim agar memeluk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Jika jihad ditujukan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam, bagaimana mungkin komunitas Yahudi, Kristen Koptik, dan lainnya, juga orang musyrik, masih ada di negeri-negeri Islam, padahal Khilafah memerintah negeri-negeri itu selama 1.300 tahun?
Dengan demikian, Barat menyerang konsep jihad tidak lain karena menjadi penghalang Barat untuk menguasai dan menjajah negeri Muslim. Jihad akan membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dan cengkeraman Barat. Jihad juga yang nantinya akan menghancurkan hegemoni dan ideologi Kapitalisme. Jihad akan membebaskan umat manusia dari kegelapan dan kezaliman ideologi Kapitalisme menuju cahaya petunjuk dan keadilan Islam.
Jihad Bukan Metode Menegakkan Syariah dan Khilafah
Menegakkan syariah dan Khilafah termasuk aktivitas manusia dan harus terikat dengan hukum syariah, karena hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariah. Metode Rasulullah saw. dalam menegakkan syariah dan Daulah Islam merupakan penjelasan bagi kita tentang tatacara menegakkan syariah dan Khilafah. Semua itu merupakan hukum syariah yang harus kita pegang. Jika kita menyimpang, berarti kita telah menyelisihi hukum syariah dan tentu saja termasuk kemaksiatan.
Rasulullah saw. menegakkan syariah dan membangun masyarakat Islam bukan dengan metode jihad. Bahkan ketika Baiat Aqabah II menjelang hijrah, beliau tetap menolak menggunakan kekerasan; bukan karena tidak mampu menggunakan kekerasan, tetapi karena tidak diizinkan oleh Allah. Saat itu Rasul saw. bersabda, "Lam nu’mar bi dzâlika (Kita belum diperintahkan demikian).”
Metode yang beliau tempuh adalah melalui ash-shirâ’ al-fikri (pergolakan pemikian), al-kifâh as-siyâsi (perjuangan politik), dan thalab an-nushrah (mencari nushrah), tanpa kekerasan. Inilah metode yang beliau jalankan. Inilah hukum syariah yang harus kita pegang erat sebagai metode menegakkan syariah dan Khilafah serta membangun masyarakat Islam. Metode inilah yang akan memberikan keberhasilan, karena pertolongan Allah tidak akan diturunkan jika kita menyalahi hukum syariah.
Khatimah
Penerapan ideologi Kapitalisme banyak menimbulkan problem kehidupan umat manusia. Selama ini ideologi Kapitalisme telah berusaha memperbaiki dan menyelesaikan proble-problem itu, namun gagal. Banyak problem yang akhirnya dibiarkan tanpa solusi, karena pengusung Kapitalisme telah putus asa untuk menemukan solusinya. Kehancuran Kapitalisme akhirnya hanya masalah waktu.
Di sisi lain, mereka semakin gencar menyerang ideologi Islam dengan konsep syariah, Khilafah dan jihad sebagai fokus serangan. Hal itu merupakan tanda-tanda kekalahan ideologi Kapitalisme. Serangan mereka hanyalah upaya untuk memperpanjang usia ideologi Kapitalisme dengan menghambat bangkitnya ideologi Islam yang akan menggusurnya. Semakin gencar serangan mereka semakin menunjukkan besarnya ketakutan mereka akan bangkitnya kembali ideologi Islam yang akan diterapkan dan diemban oleh Khilafah. Semua itu skaligus juga mengindikasikan semakin dekatnya waktu yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya, yaitu tegaknya kembali Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Realita kehidupan sosial juga sangat buruk. Pembunuhan, perkosaan, pencurian, perampokan, pelecehan, dan segala macam kejahatan terjadi setiap jam. Perilaku seks menyimpang semakin menyebar, institusi keluarga dan perkawinan hancur, penyakit AIDS dan lainnya menjadi ancaman, aborsi terjadi 2 juta/tahun atau 5.479 aborsi/hari (di AS). Angka bunuh diri juga meningkat tajam. Itulah wajah peradaban Kapitalisme.
Berbagai tambal sulam yang telah dilakukan tidak menghasilkan perbaikan berarti. Kerusakan masih akan terus berlanjut. Harapan akan perbaikan pun sangat kecil bahkan mustahil. Di sisi lain, masyarakat dunia telah lebih dulu menyaksikan runtuhnya ideologi Sosialisme-komunis.
Karena itu, saat ini masyarakat dunia tengah menanti bangkitnya satu ideologi yang menyelamatkan mereka, yaitu Islam. Hal ini bukan tidak dipahami oleh Barat dan AS. Barat dan AS khususnya tidak ingin kepemimpinan dunia dan penguasaan atas kekayaan dunia lepas dari tangan mereka. Karenanya, mereka pun menyerang Islam. Saat ini serangan mereka itu dipusatkan pada tiga konsep Islam, yaitu: syariah, Khilafah, dan jihad. Mengapa?
Syariah adalah Solusi
Problem hidup akibat ideologi Kapitalisme terjadi secara multidimensional. Ideologi penyelamatnya haruslah ideologi yang memberikan aturan/sistem menyeluruh yang menyelesaikan problem multidimensi itu. Secara pasti, Islam memiliki sistem yang mengatur semua dimensi kehidupan manusia. Sebab, Islam adalah akidah dan sistem aturan yang diberikan oleh Allah, Zat Pencipa manusia yang Mahatahu atas segala sesuatu. Allah sendiri telah menegaskan dalam al-Quran:
]وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ[
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).
Allah juga menegaskan, syariat Islam yang menyeluruh itu merupakan rahmat bagi seluruh manusia. Karenanya, syariat Islam menjamin dan secara real mampu memberikan keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman hidup bagi semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim yang hidup di bawah pengaturannya. Syariah secara pasti akan menggusur sistem Kapitalisme yang selama ini terus menerus mendatangkan keburukan dan ancaman bagi umat manusia.
Andai manusia memahami gambaran sesungguhnya dan apa yang diberikan oleh syariah, lalu membandingkannya dengan gambaran dan apa yang diberikan oleh ideologi Kapitalisme, maka akal sehat akan menuntun mereka mengambil Islam dan mencampakkan Kapitalisme.
Karena itu, Barat (AS khususnya), sangat berkepentingan untuk mencitraburukkan syariah. Mereka pun mencitrakan syariah identik dengan kemunduran, kembali ke zaman onta, keterbelakangan, kemiskinan, kekerasan, brutal, barbar, totaliter, dll. Tujuannya adalah untuk menghalangi umat manusia melihat gambaran syariah yang sesungguhnya serta menimbulkan sikap antipati terhadap Islam dan syariahnya.
Syariah pun dicoba didistorsi sebatas rukun Islam saja; syariah tidak perlu diterapkan secara formal, cukup substansinya saja. Hal itu untuk menjauhkan kaum Muslim dari ide formalisasi syariah. Upaya itu akan gagal. Banyak hukum syariah yang ditetapkan secara pasti dengan nash qath‘i. Meyakini hukum-hukum ini adalah bagian dari perkara i‘tiqâdi. Pelaksanaan hukum-hukum syariah merupakan konsekuensi keyakinan seorang Muslim terhadap akidah Islam. Selama kaum Muslim masih meyakini akidah Islam, mereka tetap merasa terpanggil untuk menerapkan syariah.
Khilafah adalah Pemersatu, Pembawa Kemajuan dan Kebangkitan Umat
Kaum Muslim sebenarnya memiliki semua prasyarat untuk menjadi umat unggul memimpin dunia. Kaum Muslim memiliki SDA yang sangat melimpah, SDM yang berpotensi tinggi, dan ideologi yang agung. Namun, belajar dari sejarah umat manusia, suatu ideologi akan menjadikan umatnya disegani ketika umatnya menerapkan dan mengemban ideologi itu dalam institusi negara. Demikian juga dengan ideologi islam. Tiga belas abad perjalanan Khilafah telah menjadi bukti. Tegaknya Khilafah Islamiyah yang menerapkan ideologi Islam merupakan kunci bangkitnya kaum Muslim. Khilafah dengan sistem aturannya yang adil, menyejahterakan, dan menenteramkan akan menggusur Kapitalisme dan mencabut hegemoni Barat (AS).
Khilafah juga mampu mempersatukan semua potensi yang dimiliki kaum Muslim. Sebab, Khilafah mengemban sistem aturan yang agung; negaranya lintas bangsa, tidak terjebak sekat nasionalisme; sistemnya adil tanpa diskriminasi dan pandangan rasial. Sepanjang sejarah umat manusia, hanya Khilafahlah yang sudah terbukti mampu menyatukan dan melebur bangsa-bangsa yang mendiami wilayah antara Xinjiang (Cina Barat) di timur melintasi Timur Tengah, Mesir, Afrika Utara sampai Maroko dan Spanyol di Barat; antara India di selatan melintasi Asia Selatan, Timur Tengah, wilayah Kaukasus sampai semenanjung Krim di Utara.
Khilafah juga membawa kesejahteraan, kebangkitan sains teknologi, dan kemajuan umat. Khilafah pernah berhasil menjadikan rakyatnya berkecukupan sehingga tidak ada seorang pun yang mau mengambil harta zakat. Belum ada sistem selain Islam baik Yunani, Romawi, Mesir Kuno, Imperium Persia, Imperium Romawi, Eropa Abad Pertengahan dan Barat kapitalis hingga sekarang, yang mampu menyamai prestasi itu.
Andalusia ketika diperintah kaum Muslim menjadi pusat peradaban. Universitasnya menjadi pusat pandangan para pelajar di seluruh Eropa. Kemajuan kaum Muslim jauh melampaui Eropa kala itu. Prof. Sigrid Hunke (Matahari Allah di atas Dunia Barat, hlm. 541) menyatakan:
Sungguh, Barat tetap dalam keterbelakangan secara kultural, pemikiran, dan ekonomi sepanjang waktu ketika Eropa mengasingkan dirinya dari Islam. Eropa belum mulai bersinar dan bangkit kecuali ketika Eropa mulai bersinggungan dengan Arab (Khilafah dan kaum Muslim, pen.) secara praktis, politik dan perdagangan. Pemikiran Eropa setelah tidur berabad-abad mulai bangun karena kedatangan sains, teknologi, dan sastra Arab.
Jika sekarang sains dan teknologi kaum Muslim tertinggal, justru karena tidak adanya institusi Khilafah. Kembalinya Khilafah sama dengan kembalinya kemajuan multidimensi kaum Muslim.
Jihad: Pembebas Umat Manusia
Di antara penghalang terbesar Barat dan AS untuk menguasai negeri Islam adalah ide dan ruh jihad, yakni mengerahkan segala daya upaya dalam perang di jalan Allah melawan kaum kafir secara langsung maupun tidak, yang terus mengalir dalam tubuh kaum Muslim. Ketika Perang Salib, Eropa hampir dua setengah abad berusaha menguasai negeri-negeri Muslim. Namun mereka gagal total. Begitu pun di Indonesia. Perlawanan kepada penjajah Belanda, Spanyol, Portugis maupun Inggris tidak kunjung henti dilakukan oleh para ulama berserta santri mereka, tidak lain karena dorongan ruh jihad. Kebangkitan nasional—ditandai dengan lahirnya Budi Utomo tahun 1908—sebenarnya telah didahului oleh kebangkitan pesantren dan kaum santri karena dorongan ruh jihad. Begitu pula invasi AS ke negeri Muslim seperti Afgan dan Irak terus mendapat perlawanan dari kaum Muslim, juga karena dorongan ruh jihad. Kaum Muslim menyadari, jika suatu negeri Muslim diinvasi musuh, maka kaum Muslim di negeri itu wajib berjihad mempertahankan wilayah itu dan mengusir musuh.
Karenanya, Barat berupaya menghapus kata jihad dari kosakata kaum Muslim. Upaya itu pasti gagal, karena menghapus kata jihad sama saja menghapus banyak ayat al-Quran. Tentu saja itu akan dilawan oleh kaum Muslim siapapun dan dimanapun. Barat sadar akan hal ini. Barat pun merasa cukup jika berhasil menghilangkan makna jihad sebagai perang melawan orang-orang kafir di jalan Allah. Makna jihad pun didistorsi sebatas jihâd an-nafs (perang melawan hawa nafsu) atau bersungguh-sungguh seperti dalam menuntut ilmu, berekonomi, dll.
Barat juga menyerang konsep jihad karena jihad merupakan politik luar negeri Khilafah dalam rangka menyebarluaskan ideologi Islam ke seluruh dunia. Barat berupaya menggambarkan jihad sebagai aktivitas barbar, membunuhi penduduk sipil dan orang tak berdosa; sebagai penindasan, penjajahan, pemaksaan untuk memeluk Islam, dll.
Yang benar, dalam konteks dakwah oleh negara (Khilafah), jihad (perang) dalam Islam hanya digunakan untuk menghilangkan penghalang fisik yang menghalangi manusia melihat keagungan dan keadilan Islam. Syariah telah memberikan hukum tentang jihad, yaitu tidak boleh membunuh penduduk sipil yang tidak terlibat perang, wanita, anak-anak, orang tua, para rahib dan agamawan; tidak boleh menghancurkan bangunan tempat ibadah, menebangi pepohonan, dan membunuhi binatang. Syariah menetapkan hukum itu dua belas abad lebih sebelum lahirnya Konvensi Jenewa.
Para ulama juga menyatakan bahwa jihad harus didahului dengan proses dakwah. Bahkan syariah menetapkan, jika kaum Muslim telah mengepung musuh, maka sebelum mereka diserang, mereka harus ditawari terlebih dulu untuk memeluk Islam atau membayar jizyah.
Ath-Thabari (Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 8/138) mengisahkan, salah satu sayap pasukan kaum Muslim telah menyerang dan menaklukkan Samarqand tanpa menyerukan Islam dan jizyah lebih dahulu. Lalu utusan penduduk Samarqand meminta izin panglima pasukan kaum Muslim, Sulaiman ibn Abi as-Sari, untuk menghadap Khalifah Umar dalam rangka mengadukan kejadian itu. Umar lalu memerintahkan Sulaiman agar menghadirkan qadhi untuk memutuskan masalah tersebut. Qadhi an-Naji memenangkan gugatan penduduk Samarqand dan memerintahkan pasukan kaum Muslim untuk keluar dari kota itu seperti sebelumnya dan sama-sama berperang sehingga terjadi perjanjian baru atau kemenangan. Melihat keadilan ini, penduduk Samarqand menarik tuntutannya; mereka rela dengan keadaan yang ada dan menghendaki agar pasukan kaum Muslim tidak keluar. Pasukan pun hidup bersama dan membaur dengan penduduk Samarqand. Penduduk Samarqand pun melebur dan menyatu menjadi bagian integral umat Islam.
Jihad juga bukan untuk menindas dan mengekploitasi bangsa lain. Kenyataan sejarah menunjukkan, bangsa-bangsa yang ditaklukkan kaum Muslim, setelah ditaklukkan menjadi satu kesatuan dengan yang menaklukkan, memiliki hak yang sama atas jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan dari Khilafah. Wilayah yang ditaklukkan dengan jihad menikmati kesejahteraan sama dengan seluruh wilayah Khilafah. Tidak ada sedikit pun catatan sejarah yang menunjukkan bahwa jihad dilakukan untuk menjajah. Catatan penaklukan untuk menjajah justru dimiliki oleh Eropa dan Amerika dari dulu hingga sekarang. Jika jihad untuk menjajah, tentu komunitas Kristen Koptik tidak akan membantu pasukan Amr bin al-‘Ash ketika menaklukkan Mesir. Demikian juga tidak akan terjadi sebagaimana yang dikisahkan al-Baladzuri (Futûh al-Buldân, hlm. 139). Diceritakan, kaum Muslim menaklukkan kota Hims di Siria. Jizyah lalu dipungut dari penduduknya. Akan tetapi kemudian, kaum Muslim harus meninggalkan kota itu dan tidak bisa lagi menjaga dan melindunginya. Abu Ubaidah, panglima kaum Muslim ketika itu, lantas mengumpulkan penduduk Hims dan mengembalikan jizyah mereka seraya berkata, "Kami tidak bisa lagi membantu dan melindungi kalian. Kalian sekarang bebas." Namun, penduduk Hims justru menjawab, "Pemerintahan Anda dan keadilan Anda bagi kami lebih mulia daripada kezaliman dan penindasan yang kami alami sebelum Anda datang."
Jihad juga bukan untuk memaksa non-Muslim agar memeluk Islam. Haram hukumnya memaksa non-Muslim agar memeluk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Jika jihad ditujukan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam, bagaimana mungkin komunitas Yahudi, Kristen Koptik, dan lainnya, juga orang musyrik, masih ada di negeri-negeri Islam, padahal Khilafah memerintah negeri-negeri itu selama 1.300 tahun?
Dengan demikian, Barat menyerang konsep jihad tidak lain karena menjadi penghalang Barat untuk menguasai dan menjajah negeri Muslim. Jihad akan membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dan cengkeraman Barat. Jihad juga yang nantinya akan menghancurkan hegemoni dan ideologi Kapitalisme. Jihad akan membebaskan umat manusia dari kegelapan dan kezaliman ideologi Kapitalisme menuju cahaya petunjuk dan keadilan Islam.
Jihad Bukan Metode Menegakkan Syariah dan Khilafah
Menegakkan syariah dan Khilafah termasuk aktivitas manusia dan harus terikat dengan hukum syariah, karena hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariah. Metode Rasulullah saw. dalam menegakkan syariah dan Daulah Islam merupakan penjelasan bagi kita tentang tatacara menegakkan syariah dan Khilafah. Semua itu merupakan hukum syariah yang harus kita pegang. Jika kita menyimpang, berarti kita telah menyelisihi hukum syariah dan tentu saja termasuk kemaksiatan.
Rasulullah saw. menegakkan syariah dan membangun masyarakat Islam bukan dengan metode jihad. Bahkan ketika Baiat Aqabah II menjelang hijrah, beliau tetap menolak menggunakan kekerasan; bukan karena tidak mampu menggunakan kekerasan, tetapi karena tidak diizinkan oleh Allah. Saat itu Rasul saw. bersabda, "Lam nu’mar bi dzâlika (Kita belum diperintahkan demikian).”
Metode yang beliau tempuh adalah melalui ash-shirâ’ al-fikri (pergolakan pemikian), al-kifâh as-siyâsi (perjuangan politik), dan thalab an-nushrah (mencari nushrah), tanpa kekerasan. Inilah metode yang beliau jalankan. Inilah hukum syariah yang harus kita pegang erat sebagai metode menegakkan syariah dan Khilafah serta membangun masyarakat Islam. Metode inilah yang akan memberikan keberhasilan, karena pertolongan Allah tidak akan diturunkan jika kita menyalahi hukum syariah.
Khatimah
Penerapan ideologi Kapitalisme banyak menimbulkan problem kehidupan umat manusia. Selama ini ideologi Kapitalisme telah berusaha memperbaiki dan menyelesaikan proble-problem itu, namun gagal. Banyak problem yang akhirnya dibiarkan tanpa solusi, karena pengusung Kapitalisme telah putus asa untuk menemukan solusinya. Kehancuran Kapitalisme akhirnya hanya masalah waktu.
Di sisi lain, mereka semakin gencar menyerang ideologi Islam dengan konsep syariah, Khilafah dan jihad sebagai fokus serangan. Hal itu merupakan tanda-tanda kekalahan ideologi Kapitalisme. Serangan mereka hanyalah upaya untuk memperpanjang usia ideologi Kapitalisme dengan menghambat bangkitnya ideologi Islam yang akan menggusurnya. Semakin gencar serangan mereka semakin menunjukkan besarnya ketakutan mereka akan bangkitnya kembali ideologi Islam yang akan diterapkan dan diemban oleh Khilafah. Semua itu skaligus juga mengindikasikan semakin dekatnya waktu yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya, yaitu tegaknya kembali Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Langganan:
Postingan (Atom)