Save Palestine Pictures, Images and Photos

Kamis, 07 Juli 2011

Dengan Khilafah, Kemiskinan Tinggal Sejarah!


Kemiskinan merupakan masalah yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan sebanyak 1,2 milyar orang menderita kelaparan atau kekurangan gizi; 100 juta orang tidak memiliki tempat tinggal, dan kira-kira 300 juta orang di Afrika saja tidak punya akses terhadap air minum yang bersih. Dunia Islam juga menderita; sebagai gambaran, di Bangladesh 35,6% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, dan 77,8% hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Beberapa negara, seperti Bangladesh, Indonesia, dan Malaysia terlihat mengalami kemajuan sebagai negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat sedunia, tapi ironisnya, jurang pemisah yang kaya dan yang miskin kian lebar saja.

Kemiskinan yang melanda dunia bukan sebuah kebetulan, melainkan disebabkan oleh sistem yang membuat perdagangan global menjadi tidak adil, dan adanya manipulasi serta eksploitasi ekonomi dari negara-negara donor, yang notabenenya adalah negara-negara kapitalis Barat. Karena itu, sungguh naif jika ada pemikiran bahwa ketidakseimbangan ekonomi dapat dipulihkan dengan menghapuskan seluruh utang, tanpa adanya upaya untuk mengevaluasi model ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab atas meningkatkanya krisis global ini.

Pertumbuhan kemiskinan, konflik, dan ketunaaksaraan, secara intrinsik terkait dengan budaya ketergantungan ekonomi yang berhasil ditanamkan oleh Barat ke negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga. Hal ini dilakukan dengan sejumlah langkah, seperti manipulasi mata uang, pemanfaatan pinjaman negara, dan legalisasi perusahaan multinasional yang menidakstabilkan dan menghancurkan aktivitas perekonomian negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga.

Ketergantungan Ekonomi
Lembaga-lembaga semacam International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan pemerintahan negara-negara Barat, sejak lama rajin meminjamkan uangnya ke negeri-negeri Muslim. Meskipun secara nominal berperan membantu pembangunan nasional, manfaat dari pinjaman itu hanya terasa dalam jangka pendek, dan selanjutnya malah mengakibatkan ketergantungan ekonomi terhadap lembaga-lembaga kreditur dan menggantungkan masa depan kepada bantuan internasional. Saat ini, 21 negeri Muslim diklasifikasikan oleh Bank Dunia sebagai negara berpendapatan rendah atau negara dengan catatan utang yang sangat parah. Berdasarkan indikator pertumbuhan, negara-negara yang “baik kinerjanya”, seperti Bangladesh, sangat tergantung pada bantuan asing sehingga mereka tetap dimasukkan oleh Bank Dunia ke dalam golongan negara-negara yang banyak utang. Utang-utang itu dibayar dengan tingkat suku bunga yang sangat memberatkan, yang melumpuhkan perekonomian, karena sebagian besar pendapatan negara dibelanjakan hanya untuk membayar utang luar negeri. Perkara ini dikemukakan dengan gamblang oleh Perdana Menteri Malaysia yang mengatakan, “Meskipun Jepang memberikan bantuan, tapi Jepang mengambil kembali dengan cara lain, seperti sihir, hampir dua kali lipat dari yang mereka berikan.” Sebagai contoh, total utang domestik dan luar negeri Pakistan mencapai 60 milyar dollar, dengan 50% anggaran negaranya dibelanjakan untuk membayar utang itu. Demikian pula dengan Mesir, yang 50% pendapatan tahunannya dan Tk 80 crore (Tk 800 juta) dari anggaran Bangladesh habis untuk membayar utang. Akibat dari utang itu sungguh parah, karena membuat negara bersangkutan terjerumus dalam lembah kemiskinan yang ekstrim.

Pinjaman IMF dan Bank Dunia tidak tanpa syarat. Pinjaman itu diberikan dalam kesepakatan yang mencakup sejumlah konsesi/kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan asing, seperti keringanan pajak selama 15 tahun dan dibebaskan dari keharusan membayar bea ekspor, sehingga tercipta “lingkungan yang kondusif bagi investasi”. Persyaratan ini membuat perusahaan-perusahaan asing memiliki keunggulan secara tidak adil dibandingkan perusahaan-perusahaan lokal, menghambat persaingan usaha dan membuat perusahaan lokal bangkrut. Persyaratan lain menuntut negara-negara debitur untuk mengurangi anggaran kesehatan dengan memberlakukan tarif bagi para pengguna layanan medis, dan memprivatisasi fasilitas-fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, guna memastikan bahwa pembayaran utang mendapat prioritas utama.

Kurangnya anggaran untuk fasilitas-fasilitas layanan dasar juga merupakan masalah tersendiri dan dapat menimbulkan efek merusak bagi kondisi kesehatan suatu negara. Sebagai contoh, banyak penyakit yang ditemui di Dunia Islam terkait dengan buruknya persediaan air, buruknya sanitasi dan pola hidup yang tidak aman secara medis, termasuk: kolera, tipoid, hepatitis, disentri, dan polio.

Persyaratan lain yang tak kalah berbahaya ialah tuntutan “pemerintahan yang lebih baik”, atau “reformasi ekonomi”, yang biasanya berarti liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan mengurangi hambatan dagang untuk barang-barang dari luar negeri. Privatisasi membuka pasar terhadap masuknya perusahaan-perusahaan asing yang berujung pada penguasaan barang publik seperti minyak dan gas. Kelak hal ini akan mengurangi secara drastis kontrol pemerintah atas sumber dayanya sendiri. Lagi-lagi ini akan menimbulkan dampak buruk terhadap perusahaan-perusahaan setempat yang tidak mampu bersaing di dalam pasar yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, sehingga mereka semakin tergantung pada bantuan luar negeri. Pasar dalam negeri semakin terdesak oleh klausul-klausul tidak adil yang diberlakukan oleh World Trade Organisation (WTO), seperti syarat pengurangan utang atau bantuan. Sebagai contoh, WTO seringkali mendesak negara-negara Dunia Ketiga untuk menyepakati ketentuan untuk tidak memberlakukan tarif impor atas produk luar negeri. Ini berarti negara-negara tersebut tidak dapat melindungi pasar internal mereka sehingga pasokan produk agrikultur murah (karena disubsidi) dari Barat bisa melimpah, dan pada gilirannya akan menghancurkan kehidupan para petani setempat.

Ekspor dan Mata Uang
Salah satu syarat pembayaran utang ialah bahwa negara-negara debitur harus meningkatkan ekspor mereka. Akan tetapi, tidak seperti negara-negara Barat, yang mereka ekspor umumnya bukanlah barang-barang khusus dan karena itu hanya memberi marjin laba yang sedikit. Bangladesh, misalnya, kebanyakan mengekspor bahan tekstil dan garmen, rami dan produk rami, ikan beku dan makanan laut. Sebaliknya, barang-barang yang diekspor oleh Barat kebanyakan mesin-mesin industri dan senjata, produk yang sangat menguntungkan. Barat juga berkonsentrasi menjual produk akhir yang bisa langsung dikonsumsi oleh masyarakat, seperti coklat atau kopi, tapi tidak menjual alat-alat produksi, sehingga meningkatkan ketergantungan ekonomi negara-negara lain terhadap Barat.

Negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan dan negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika tidak mampu membuat investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang-barang yang lebih menguntungkan, karena sebagian besar dari pendapatan tahunan mereka habis untuk membayar utang. Karena itu, utang merupakan salah satu instrumen efisien yang menjamin akses murah terhadap bahan mentah negara lain. Untuk menjamin hal ini, lembaga-lembaga semacam IMF memastikan bahwa mereka (IMF) memiliki kemampuan untuk memanipulasi mata uang negara-negara pengekspor agar mereka dapat membeli barang-barang pada tingkat harga yang mereka inginkan. Sebagai contoh, keputusan Bangladesh untuk mengambangkan mata uangnya terhadap pasar asing pada tanggal 1 Juni 2003 merupakan hasil desakan IMF. Mereka menolak memberikan bantuan darurat ketika cadangan devisa Bangladesh di bawah 1 milyar dollar, kecuali jika Bangladesh mau mengambangkan mata uangnya. Dengan begitu, yang mengendalikan taka (mata uang Bangladesh) sebenarnya ialah negara-negara Barat, bukan Bangladesh Bank, sesuai dengan keinginan mereka.

Manipulasi atas mata uang Bangladesh membuat negara-negara asing dapat membeli bahan-bahan mentah, bahkan membeli perusahaan industri, dengan harga murah. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar bisa masuk ke perekonomian setempat dan mendominasinya dengan produk-produk asing mereka. Devaluasi taka membuat tingkat inflasi naik sehingga nilai riil uang menurun, dan ini menyebabkan naiknya harga-harga kebutuhan dasar seperti roti dan ikan, dan turunya tingkat nilai riil upah.

Peran Penguasa dalam Beban Ekonomi Ketergantungan
Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu alasan utama mengapa negeri-negeri Muslim hanya mengalami sedikit pertumbuhan ekonomi, atau tidak mampu keluar dari cengkeraman ekonomi ketergantungan. Selain karena adanya faktor uang dalam jumlah banyak, kesengsaraan rakyat diperparah oleh pemerintah yang tidak memiliki itikad politik untuk mengubah sistem yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan itu. Meskipun sebagian negeri Muslim menghadapi masalah ekonomi yang akut, padahal mereka kaya dengan minyak, tapi para penguasanya hampir tidak melakukan apapun untuk mengembangkan perekonomian negara mereka, dengan membangun konglomerasi multinasional atau menyewa tenaga ahli untuk belajar membuat alat-alat produksi agar bisa membangun perekonomian yang mandiri.

Bahkan, para penguasa di negeri-negeri yang kaya sumber daya alam itu seharusnya bisa merancang kebijakan swasembada untuk memperkuat perekonomian nasional mereka dan membuat mereka mampu berdiri sendiri. Yang terjadi malah para penguasa itu berusaha meningkatkan ketergantungan ekonomi negaranya. Pada akhir tahun 1990-an, Perdana Menteri Bangladesh, Syeikh Hassina, setelah penemuan cadangan gas yang melimpah di daerah Sylhet dan Teluk Bengal, serta merta memberikan kontrak konsesi gas kepada perusahaan-perusahaan AS dan asing lain seperti UNOCAL. Dan tahun lalu, pemerintah di sana menandatangani ‘nota kesepahaman’ pipa saluran gas tiga negara ‘Myanmar-Dhaka-India’, yang kian memperlemah posisi ekonomi negara tersebut. Demikian pula Pakistan, di bawah pimpinan Musharraf, telah memprivatisasi perusahaan-perusahaan listrik dan gas seperti WAPDA, dan mengalihkan kepemilikannya ke perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di AS dan Eropa. Ini sangat membahayakan perekonomian mereka, karena uang yang sangat dibutuhkan untuk memutar perekonomian Pakistan kini disedot dan dialirkan ke perekonomian negara-negara Barat.

Mengganti penguasa yang ada sekarang tidak akan menghasilkan perubahan ekonomi di negeri-negeri Muslim, atau menghentikan siklus ketergantungan yang sudah kadung mengakar. Masalahnya jauh lebih dalam dari itu, dan itu lebih diakibatkan oleh dianutnya sistem ekonomi Kapitalisme; sebuah sistem yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia secara merata sehingga mengakibatkan kemiskinan merajalela. Ini terkait dengan bagaimana Kapitalisme memandang masalah ekonomi. Kapitalisme memandang masalah ekonomi sebagai ‘adanya kelangkaan sumber daya dan tidak terbatasnya kebutuhan’. Jadi, Kapitalisme berusaha mengatasi masalah ekonomi dengan memaksimalkan produksi guna menghasilkan kekayaan, yang selanjutnya akan memenuhi sebagian besar, jika tidak semua, kebutuhan manusia. Kapitalisme memiliki premis bahwa kebutuhan setiap individu tidak dapat dipenuhi, dan karena itu kemiskinan akan selalu ada berbarengan dengan kekayaan. Dengan demikian, masalah kemiskinan, ketunawismaan, dan kelaparan akan selalu menjadi ancaman laten bagi setiap masyarakat Kapitalis. Karena itu, kemiskinan bukanlah karakter negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga saja, melainkan juga karakter negara-negara Barat.

Kemiskinan, ketunawismaan, penyakit dan kelaparan yang melanda Dunia Islam adalah sebagian buah dari ketergantungan ekonomi terhadap Barat dan lembaga-lembaganya. Keringanan utang, pinjaman baru, atau menambal sulam sebagian dari sistem ekonomi yang ada sekarang ini tidak akan menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh tatanan kapitalis global yang akan terus berlanjut, selama kaum Muslim masih dipimpin oleh para penguasa dan politisi yang tidak mampu melihat visi ekonomi negara-negara Barat.

Sikap menyerah dan tidak mandiri telah mempengaruhi para penguasa itu sehingga mereka lebih suka membebek daripada memimpin. Mereka tidak merasa malu dengan menjadi budak impoten yang menghamba terhadap majikan-majikan mereka, dan mereka secara sadar menghambat seruan-seruan menuju kemandirian ekonomi. Untuk bisa bebas dari siklus ketergantungan ekonomi ini, Dunia Islam harus bersatu sebagai satu kesatuan negara, untuk membentuk blok kuat yang mandiri di bawah kepemimpinan seorang penguasa yang dibimbing oleh visi yang berbeda, dan memiliki keberanian untuk membuat sistem yang mandiri dari kerangka sistem Barat yang ada sekarang.

Bagaimana Negara Khilafah akan bisa menghilangkan kemiskinan?
Islam memandang kemiskinan dari kacamata berbeda tetapi masih berkaitan dengan yang sedang diketengahkan oleh dunia berkembang, dan pada waktu bersamaan mempunyai sejumlah peraturan yang bisa menghilangkan kemiskinan. Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang. Islam membagi kebutuhan tersebut ke dalam tiga hal: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dalam hal ini Islam berbeda dengan kapitalisme karena Islam melihat kemiskinan sebagai suatu prinsip yang konsisten dan tetap. Tidak seperti definisi di dunia berkembang, dimana kemiskinan dilihat dari sudut pandang yang sempit. Mereka melihat kemiskinan sebagai sebuah hubungan relatif antara GDP dengan kebutuhan masyarakat. Ini berarti, tidak bisa memenuhi barang mewah di Inggris bisa dianggap miskin, tetapi tidak di Sudan. Dengan definisi ini, sebuah kenyataan jika seseorang berada dalam kemiskinan, kemudian mendadak sontak bisa berubah ‘menjadi kaya’ hanya karena adanya kenaikan pada kekayaan negara, sementara hakekatnya tidak ada satupun yang berubah pada diri orang tersebut. Masalah krusial yang terjadi adalah tidak mungkin bisa mengembangkan kebijakan pemerintah dalam sebuah dasar dimana orang yang berada dalam kemiskinan bisa terus berubah.

Islam juga mengenal kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti keamanan dan pendidikan, dan hal ini menjadi salah satu prioritas dari negara, sesuai tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan pokok sebanyak apapun itu.

Negara Khilafah akan membuat semua kelengkapan kepemilikan umum yang diperlukan sebagai sebuah kebijakan. Islam menetapkan tiga jenis kepemilikan; negara, umum, dan pribadi. Hal tersebut menandakan bahwa setiap keperluan yang dianggap tidak tergantikan bagi masyarakat sebagai properti publik, seperti jika ketidaksediaannya akan membuat orang-orang mencarinya secara luas dan jauh. Kemudian hal tersebut akan dimiliki secara publik, dan keuntungan yang dihasilkannya akan diatur bagi kepentingan seluruh penduduknya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
“Umat Muslim itu berserikat dalam tiga hal: (yaitu) air, padang rumput dan api”.

Meskipun hadits tersebut hanya menyebutkan tiga hal, kita bisa menerapkan qiyas (analogi) dan memperluas bukti untuk menutupi semua contoh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak tergantikan. Seperti sumber air, hutan sebagai sumber kayu, ladang minyak, pembangkit listrik, jalan raya, sungai, lautan, danau, kanal umum, teluk, selat, bendungan dan lain-lain, tidak bisa dimiliki oleh perorangan. Tentu saja Islam akan mengijinkan kepemilikan jika hal tersebut tidak terlalu penting bagi masyarakat. Solusi ini akan membawa efek yang unik, karena hal tersebut akan memastikan setiap orang mendapatkan ketentuan yang mendasar untuk hidup, dan tidak berada di bawah monopoli atau harga-harga yang tinggi. Jika negara telah memperoleh pendapatan yang tersedia dan telah memenuhi kebutuhan masa depan yang telah direncanakan maka tidak perlu memberlakukan pajak. Zakat, sebuah pilar agama Islam yang konstan tetapi bukan berupa pajak, lebih berupa sebuah tunjangan sosial yang ditujukan bagi kategori orang-orang tertentu. Hal ini berarti umat Muslim bisa berkata bahwa mereka tidak akan lagi berkata bahwa ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan; (yaitu) kematian dan pajak.

Masalah kemiskinan bukanlah masalah dalam produksi, melainkan juga masalah distribusi produk agrikultur dalam ekonomi. Meskipun dorongan pasar akan memastikan hal itu terjadi, tetapi Negara Khilafah akan mengatur distribusi produk-produk agrikultur. Hal ini bisa dicapai dengan satu jenis kebijakan. Sebagai contoh, adalah umum jika sebuah tanah kosong yang digarap oleh seseorang, maka ia akan menjadi pemilik lahan tersebut. Hal ini berasal dari hadits Nabi Muhammad saw:
“Barang siapa yang mengolah sebuah tanah yang tidak dimiliki siapapun, maka ia lebih pantas mendapatkannya.”
Peraturan ini sangat potensial mengubah tatanan agrikultural di negeri-negeri Muslim secara fundamental. Di negara-negara Arab, terdapat air yang melimpah dan lahan yang sangat subur, tetapi lahan tersebut telah ditinggalkan karena orang-orang pindah ke ibu kota dan meninggalkan sebagian besar desa tersebut tidak berpenghuni. Salah satu aturan dalam Islam yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak mampu secara finansial tidak bisa membiayai dirinya sendiri dan juga tidak bisa didukung oleh keluarganya maka ia berada dalam layanan finansial Khilafah. Akan tetapi, daripada mengeluarkan pemberian upah berupa keuntungan untuk menyokong masyarakat, Islam lebih condong menyediakan mereka dengan peralatan untuk mencari kekayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak lahan pertanian ini yang akan diberikan pada orang-orang yang tidak mampu sehingga mereka bisa menyediakan kebutuhan pangan negaranya.

Kebijakan Pertanian
Kebijakan Negara Khilafah dalam bidang pertanian harus berkisar mencapai hal-hal sebagai berikut:
Meningkatkan produksi makanan, termasuk mengembangkan teknik permesinan dan agraris terbaru.
Meningkatkan produktivitas pada bahan-bahan pakaian seperti kapas, wol dan sutera, hal ini untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harus dimiliki tanpa terpaksa harus mengimpor.
Meningkatkan produksi barang-barang yang mempunyai pasaran luas, baik itu produk tekstil atau makanan seperti buah jeruk, kurma dan lain-lain.

Negara Khilafah perlu medorong para petani, khususnya mereka yang kemampuannya telah terbukti, untuk menyebarkan kemampuan ini, khususnya dalam metode pertanian pada kaum Muslim yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Para petani Turki adalah yang paling trampil di dunia, sementara para petani Pakistan adalah petani yang teknologinya paling maju. Dorongan bisa datang berupa bantuan lahan pertanian yang luas ataupun berupa bantuan finansial secara langsung.

Negara Khilafah harus masuk dalam pasar sebagai pemasok dalam penyediaan barang dan pembeli produk-produk pertanian, dengan tujuan untuk mengatur produksi pertanian dan menjaga para produsen pertanian dari fluktuasi pasar dan melawan pengaruh kondisi alam dan cuaca.

Negara Khilafah harus mempunyai kontrol atas area produksi untuk alasan kualitas, dan untuk menanggulangi masalah-masalah kelebihan kapasitas dalam sektor-sektor agrikultur yang kurang penting.

Negara Khilafah dalam prioritasnya harus menginvestasikan banyak uang yang dibutuhkan dalam kebijakan agrikultur umum karena dua hal mendasar. Satu, hal ini adalah kebutuhan yang paling pokok dalam taraf awal Khilafah. Hanya perkembangan industri pertahanan dan konsumsi industri gas dan minyak yang harus ditekankan dalam agenda Khilafah. Dua, agrikultur juga, Insya Allah, akan menjadi sumber terbesar pekerjaan yang kemudian menyediakan lapangan kerja dan lebih banyak memutar kekayaan dalam perekonomian.

Dengan demikian Negara Khilafah harus berinvestasi dalam peralatan/permesinan dan teknik agrikultur terbaru. Perlu dicatat bahwa Korea Utara mempunyai kebijakan agrikultur yang jelas di masa lalu dan berkembang setelah Perang Dunia II dalam tiga tahapan dengan cara-cara komunis. Akan tetapi, Korea Utara menyadari bahwa ketika mereka mencoba untuk mengekspor peralatan mereka, pasar Eropa dan Amerika telah tertutup bagi mereka karena tujuan-tujuan proteksi. Negara Khilafah harus membuat persyaratan perdagangan yang menarik sehingga kita bisa mendapatkan peralatan pertanian Korea Utara dan juga mendapatkan keuntungan dari teknik-teknik pertanian mereka.

Distribusi Kekayaan
Alasan yang menggarisbawahi mengapa kemiskinan terjadi di Dunia Islam adalah karena penerapan sejumlah ide-ide kapitalis yang membatasi dengan ketat perputaran kekayaan. Negara Khilafah akan segera menghilangkan semua kesenangan sistem kapitalis dan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Jika orang telah meneliti efek peraturan itu maka jelas sudah bahwa kemiskinan akan hilang.

Islam tidak mempunyai konsep penerimaan pajak, atau pajak pertambahan nilai, atau bea pajak, ataupun kontribusi asuransi nasional, dan yang lainnya. Tetapi Islam menempatkan kewajiban perpajakan pada kekayaan, dan bukan pada pendapatan. Efek hal tersebut dalam perekonomian sangatlah besar. Contohnya, rata-rata gaji di Inggris adalah 24.000 poundsterling. Pada kisaran tersebut beban pajak bersama dengan kontribusi pajak nasional jatuh ke 30%. Bersamaan dengan pajak tak langsung (pajak dalam pengeluaran daripada pendapatan) seperti halnya juga pajak dewan, pajak jalan dan lain-lain, berarti beban bersih pajak jatuh pada kisaran 40-50%. Hal tersebut berarti rata-rata perorang di Inggris kehilangan 10 ribu sampai 12 ribu pounsterling karena pajak.

Dalam Negara Khilafah, secara sederhana, pajak kekayaan berada dalam kisaran 2.5%. Hal ini berarti dalam setahun, orang yang berpendapatan menengah bisa menghemat 10 ribu pounds. Sehingga dua atau tiga orang bisa masuk dalam sebuah kontrak bisnis seperti mudharabah untuk mengirim beberapa permintaan untuk pelanggan dan barang-barang industri, selain menciptakan lapangan kerja lain dalam perekonomian.

Pertimbangkan juga pembatalan tingkat suku bunga.
Dalam perekonomian Barat, semua model ekonomi didasarkan pada tingkat suku bunga, dari keputusan investasi, konsumsi, tabungan, sampai pinjaman keuangan, pembelian rumah dan lainnya.

Efek dari hal tersebut adalah pengeluaran dan investasi yang tidak seimbang dan natural. Sebagai contohnya, seseorang dengan kemampuan ekonomi menengah yang membeli sebuah rumah kemudian terjebak dalam hipotik dan membayar sejumlah bunga yang mengikat selama 25-30 tahun. Hal tersebut diiringi dengan pembayaran pinjaman untuk mobil dan barang mahal lainnya yang mengikis habis pendapatan masyarakat. Akan tetapi, meskipun setelah biaya pajak, dan biaya pembayaran bunga, orang-orang masih mempunyai beberapa pendapatan yang bisa dibuang. Kemudian masalahnya adalah investasi; sesungguhnya sederhana bahwa orang-orang tidak akan berinvestasi bila rata-rata keuntungan sebuah bisnis seimbang dengan risiko kerjasama, dan bisa didapat dari bunga dengan menyimpan uang di bank untuk menambah bunga. Dengan kata lain, tingkat suku bunga membatasi investasi, dan oleh karena itu bunga menjadi rintangan dalam penyaluran kekayaan.

Selain mengatur masalah kekayaan publik, Islam juga bersandar pada sejumlah peraturan untuk memastikan kekayaan terus berputar dan menghukum -pada beberapa kasus memberlakukan pungutan- pada mereka yang menimbun kekayaan mereka. Hal ini sangat penting karena menimbun uang dan menyimpan kekayaan dalam sebuah akun untuk mendapatkan bunga bahkan akan mengakibatkan uang tidak tersirkulasi. Islam mempunyai sekumpulan aturan yang melarang penimbunan kekayaan dan mendorong pengeluaran yang memastikan distribusi kekayaan. Islam juga mempunyai pajak tanah kharaj, dimana pungutan ditentukan oleh kualitas lahan, dan ‘usyur, yang merupakan pungutan hasil dari lahan tersebut. Islam memperbolehkan pengambilalihan lahan jika lahan tersebut tidak dipakai selama tiga tahun. Peraturan ini akan sangat efektif untuk mengakhiri monopoli beberapa keluarga di dunia ketiga yang memiliki lahan yang luas dari peninggalan penjajah, kecuali lahan tersebut dipakai secara produktif yang akan membantu perputaran kekayaan.

Dalam Islam, dorongan untuk tidak berbelanja itu tidak ada, bunga itu terlarang, dan menimbun itu dikenakan pungutan. Tidak mempunyai bunga artinya tidak ada dorongan untuk menyimpan uang di bank, karena hal itu tidak akan menambah bunga, tetapi tetap dikenakan pungutan jika disimpan selama satu tahun. Dengan tidak mempunyai pajak dalam pendapatan ataupun pendapatan, sebuah proporsi pendapatan untuk pengeluaran yang lebih besar bisa bebas diinvestasikan pada barang-barang fisik, aset-aset dan berbagai peralatan, yang berimbas pada penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan setiap permintaan dalam perekonomian. Kertas-kertas berharga seperti saham, obligasi dan surat utang sebagai bentuk komoditas, tidak terdapat dalam Islam. Satu-satunya bentuk investasi adalah dalam hal-hal/barang yang kongkrit yang memastikan perekonomian terus memutar kekayaan.

Ini adalah sebuah kumpulan kebijakan umum yang harus diikuti oleh Negara Khilafah untuk menarik Dunia Islam keluar dari kemiskinan. Sistem ini kemudian harus diperkenalkan pada negara-negara Afrika dan Amerika Latin yang selama berdekade-dekade telah tenggelam dalam kemiskinan karena cengkeraman Amerika Serikat, IMF dan Bank Dunia. Sistem ini juga kemudian harus menjadi bagian dari agenda global ketika konferensi dan perayaan seperti halnya target milenium dibicarakan. Harus dicatat bahwa banyak kebijakan yang diperkenalkan target kemiskinan dunia berasal dari dasar yang sama dimana masalah-masalah tersebut berasal.

Dunia Islam telah dianugerahi dengan tanah yang subur, air dan barang tambang, yang jika dimanfaatkan dengan baik akan menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mudah di Dunia Islam. Sesuatu yang juga harus jelas adalah bahwa produksi barang-barang agrikultur belaka bukanlah solusi dari kemiskinan, masalahnya terletak pada penyalurannya. Turki adalah satu contoh yang bagus dimana 20% dari 70 juta penduduknya berada dalam kemiskinan meskipun mereka adalah salah satu pemimpin terbesar penghasil pertanian. Per Maret 2007, Turki adalah penghasil terbesar hazelnut, ara, apricot, cerry, quince, dan pomegranate; penghasil terbesar kedua semangka, ketimun dan kacang; penghasil ketiga terbesar tomat, terung, cabai hijau, dan miju-miju; penghasil bawang dan zaitun terbesar keempat; penghasil gula tebu terbesar kelima; penghasil tembakau, teh dan apel terbesar keenam; penghasil kapas dan gandum ketujuh terbesar; penghasil almon ke delapan terbesar; penghasil terbesar gandum, gandum hitam, dan jeruk besar kesembilan, dan penghasil terbesar kesepuluh lemon.

Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis dalam hal landasan maupun rinciannya. Berbeda dengan perspektif fundamental Kapitalis yang menganggap sumber daya yang ada di dunia ini terbatas, Islam memandang bahwa bumi ini sangat kaya dengan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh umat manusia. Syariat Islam memberikan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar warganegara ini kepada Negara Khilafah.


sumber: https://www.facebook.com/notes/hidup-sejahtera-di-bawah-naungan-khilafah/khilafah-membuat-kemiskinan-tinggal-jadi-sejarah/163107400414470

Jumat, 15 April 2011

Anggota DPR ‘Liburan’ ke AS Hingga Prancis Telan Rp 4,5 M

Jakarta - DPR memasuki masa reses (libur sidang) yang seharusnya diisi dengan mengunjungi konstituennya di daerah. Namun sejumlah anggota DPR malah melakukan kunjungan ke luar negeri.

Menurut siaran pers dari Kordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi, Kamis (14/4/2011), kunjungan anggota DPR ke luar negeri dimulai Rabu (13/4) kemarin. Anggota Komisi I DPR melawat ke empat negara selama masa reses yaitu ke Amerika, Turki, Rusia, dan Prancis.

FITRA merilis anggaran yang digunakan untuk pelesiran tersebut sebesar Rp 4,5 miliar. Dengan rincian untuk kunjungan ke Amerika Serikat Rp 1,4 miliar, ke Turki Rp 878 juta, ke Rusia 1,2 miliar, dan ke Prancis Rp 944 juta. Data tersebut diperoleh Fitra dari DIPA DPR dan RK DPR tahun 2011.

Kunjungan anggota DPR selama reses ini dipandang Fitra sebagai pemborosan. Seharusnya anggaran ini digunakan untuk kepentingan program rakyat miskin.

“Kunjungan pelesiran ke luar negeri telah menghambur-hamburkan pajak publik sebesar Rp 4,5 miliar. Hanya dengan waktu satu bulan saja, anggota DPR telah menghabiskan pajak publik sebesar Rp 4,5 miliar. Padahal publik memberikan pajak kepada negara, harus mengumpulkan duit dulu selama satu tahun, baru bisa membayar pajak kepada negara,” protes Ucok.

Kalau anggaran tersebut digunakan untuk rakyat miskin, Ucok menuturkan, DPR telah menyelamatkan 98 anak yang tidak mampu sekolah untuk mendapatkan beasiswa dari SD sampai ke perguruan tinggi.

“Seharus anggota DPR bukan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, selama reses seharusnya anggota DPR mengunjungi konstituen mereka di daerah pemilihan (dapil) masing-masing daripada hanya jalan-jalan ke luar negeri. Dan hal ini menandakan bahwa anggota Dewan sudah lepas diri dari tanggung jawab kepada konstituen,” kecamnya. (detiknews.com, 14/4/2011)

Pelarangan Burqa, Bukti Demokrasi Hanya Dukung Prilaku Buruk

Pemerintah Perancis menyatakan pelarangan burqa dalam rangka menjaga keutuhan, penyatuan, integrasi, atau kohesifitas kehidupan masyarakat Perancis yang beragam. Juga menjaga derajat perempuan dari penindasan. Benarkah? Lantas apa motif sesungguhnya? Dan benarkah mengenakan burqa perempuan menjadi tertintdas? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Apa motif sesungguhnya dari larangan mengenakan burqa di Perancis?

Ketakutan Perancis terhadap semakin besarnya geliat penerapan Islam di negara sekuler tersebut. Semangat kaum Muslim ini bisa berubah menjadi ancaman bagi eksistensi sekularisme dan kapitalisme.

Saat ini ada sekitar 5 juta populasi Muslim di sana, dan semakin marak trend menjaga pelaksanaan syariat Islam. Banyak restoran berdiri menyediakan hanya makanan halal, tempat pembelian daging halal, shalat Jumat yang jamaahnya tumpah ruah hingga ke jalan-jalan karena masjid tak lagi menampung dan juga lebih dari 2000 perempuan memakai burqa.

Semua menunjukkan semakin kuatnya ketaatan agama warga Muslim di sana. Jadi sekalipun kebebasan dan sekularisme disuntikkan setiap saat, namun gagal memberangus kebenaran Islam yang diemban setiap Muslim.

Benarkah burqa membelenggu perempuan?

Jelas ini pandangan yang tidak didukung argumentasi logis. Apa ukurannya untuk menyebut burqa membelenggu perempuan?

Perempuan Muslimah di Perancis bahkan sudah banyak yang menyampaikan testimoninya ke media-media internasional bahwa mereka mengenakan burqa adalah pilihan pribadinya yang lahir dari kesadaran dan ketaatan. Sama sekali tidak ada paksaan dari orangtua maupun suaminya, tidak ada tekanan dari organisasi atau masjid mana pun.

Mereka juga tidak merasakan kesulitan apa pun dalam beraktifitas dan menjalankan bisnis dengan pakaian Muslimah dan burqanya. Lalu dimana letak penindasannya?

Justru dengan larangan burqa dan sanksi tegas yang mulai diberlakukan minggu ini, saudara-saudara kita Muslimah di sana, yang taat pada agamanya, menjadi tertindas, terbelenggu dan kehilangan kebebasannya.

Mereka juga tidak mendapatkan keadilan di negara yang konon mengagungkan kebebasan, keadilan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).

Perancis adalah negara sekuler, jadi wajar melarang?

Perancis telah gagal meyakinkan warganegaranya bahwa demokrasi dan sekularisme adalah nilai-nilai terbaik bagi kehidupan. Ide sesat ini dikampanyekan seolah-olah menjamin kebebasan beragama, bertingkah laku, berkepemilikan dan berpendapat.

Jika konsisten dengan faham sekularismenya, justru seharusnya Perancis memberi kebebasan warganegara; tidak melarang burqa sebagaimana memberi kebebasan berpakaian minim, dan seterusnya.

Namun ketika menyangkut ketaatan terhadap agama Islam, nampak jelas pemerintah Perancis tidak lagi bisa konsisten, karena Perancis juga menyimpan bukti sejarah yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam matinya kapitalisme sekuler.

Apa yang dilakukan oleh Perancis hari ini pasti akan segera diikuti oleh negara-negara Barat lain dan bisa jadi dengan tekanan dan penindasan lebih besar. Ingatlah firman Allah

“…telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi…” [TQS Ali-Imran (3):118]

Bagaimana seharusnya sikap umat Islam?

Seharusnya umat Islam di seluruh dunia menyadari dua hal.

Pertama satu lagi bukti bahwa demokrasi , liberalisme dan sekularisme hanyalah ide sesat yang dikemas manis dijajakan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ide-ide ini hanya berlaku untuk mendukung perilaku buruk manusia yang ingin mengambil keuntungan dari pornografi dan pornoaksi yang melecehkan perempuan namun tidak berlaku untuk mendukung perempuan Muslimah yang taat pada aturan Penciptanya.

Maka jangan lagi ragu untuk segera meninggalkan demokrasi, dan ide-ide kapitalisme lainnya.

Kedua, Umat Islam membutuhkan institusi politik, negara, yang mampu mengayomi pelaksanaan syaariat secara sempurna. Tanpa adanya negara yang menerapkan syariat secara sempurna yakni Khilafah Islam, musuh-musuh Islam dengan mudah merampas hak-hak kaum Muslim untuk taat pada perintah Allah.

Dan kita membutuhkan Khilafah Islamiyah itu sekarang, bukan nanti, karena masalah umat Islam hari ini bukan hanya pelarangan burqa namun juga pembantaian oleh rezim antek barat, pendudukan Israel dan AS, penghisapan kekayaan alam, dan berbagai penyesatan pemikiran yang merusak generasi. Maka segeralah berjuang untuk tegaknya Khilafah Islam. []mediaumat.com


Pelarangan Burqa, Bukti Demokrasi Hanya Dukung Prilaku Buruk

Pemerintah Perancis menyatakan pelarangan burqa dalam rangka menjaga keutuhan, penyatuan, integrasi, atau kohesifitas kehidupan masyarakat Perancis yang beragam. Juga menjaga derajat perempuan dari penindasan. Benarkah? Lantas apa motif sesungguhnya? Dan benarkah mengenakan burqa perempuan menjadi tertintdas? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Apa motif sesungguhnya dari larangan mengenakan burqa di Perancis?

Ketakutan Perancis terhadap semakin besarnya geliat penerapan Islam di negara sekuler tersebut. Semangat kaum Muslim ini bisa berubah menjadi ancaman bagi eksistensi sekularisme dan kapitalisme.

Saat ini ada sekitar 5 juta populasi Muslim di sana, dan semakin marak trend menjaga pelaksanaan syariat Islam. Banyak restoran berdiri menyediakan hanya makanan halal, tempat pembelian daging halal, shalat Jumat yang jamaahnya tumpah ruah hingga ke jalan-jalan karena masjid tak lagi menampung dan juga lebih dari 2000 perempuan memakai burqa.

Semua menunjukkan semakin kuatnya ketaatan agama warga Muslim di sana. Jadi sekalipun kebebasan dan sekularisme disuntikkan setiap saat, namun gagal memberangus kebenaran Islam yang diemban setiap Muslim.

Benarkah burqa membelenggu perempuan?

Jelas ini pandangan yang tidak didukung argumentasi logis. Apa ukurannya untuk menyebut burqa membelenggu perempuan?

Perempuan Muslimah di Perancis bahkan sudah banyak yang menyampaikan testimoninya ke media-media internasional bahwa mereka mengenakan burqa adalah pilihan pribadinya yang lahir dari kesadaran dan ketaatan. Sama sekali tidak ada paksaan dari orangtua maupun suaminya, tidak ada tekanan dari organisasi atau masjid mana pun.

Mereka juga tidak merasakan kesulitan apa pun dalam beraktifitas dan menjalankan bisnis dengan pakaian Muslimah dan burqanya. Lalu dimana letak penindasannya?

Justru dengan larangan burqa dan sanksi tegas yang mulai diberlakukan minggu ini, saudara-saudara kita Muslimah di sana, yang taat pada agamanya, menjadi tertindas, terbelenggu dan kehilangan kebebasannya.

Mereka juga tidak mendapatkan keadilan di negara yang konon mengagungkan kebebasan, keadilan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).

Perancis adalah negara sekuler, jadi wajar melarang?

Perancis telah gagal meyakinkan warganegaranya bahwa demokrasi dan sekularisme adalah nilai-nilai terbaik bagi kehidupan. Ide sesat ini dikampanyekan seolah-olah menjamin kebebasan beragama, bertingkah laku, berkepemilikan dan berpendapat.

Jika konsisten dengan faham sekularismenya, justru seharusnya Perancis memberi kebebasan warganegara; tidak melarang burqa sebagaimana memberi kebebasan berpakaian minim, dan seterusnya.

Namun ketika menyangkut ketaatan terhadap agama Islam, nampak jelas pemerintah Perancis tidak lagi bisa konsisten, karena Perancis juga menyimpan bukti sejarah yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam matinya kapitalisme sekuler.

Apa yang dilakukan oleh Perancis hari ini pasti akan segera diikuti oleh negara-negara Barat lain dan bisa jadi dengan tekanan dan penindasan lebih besar. Ingatlah firman Allah

“…telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi…” [TQS Ali-Imran (3):118]

Bagaimana seharusnya sikap umat Islam?

Seharusnya umat Islam di seluruh dunia menyadari dua hal.

Pertama satu lagi bukti bahwa demokrasi , liberalisme dan sekularisme hanyalah ide sesat yang dikemas manis dijajakan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ide-ide ini hanya berlaku untuk mendukung perilaku buruk manusia yang ingin mengambil keuntungan dari pornografi dan pornoaksi yang melecehkan perempuan namun tidak berlaku untuk mendukung perempuan Muslimah yang taat pada aturan Penciptanya.

Maka jangan lagi ragu untuk segera meninggalkan demokrasi, dan ide-ide kapitalisme lainnya.

Kedua, Umat Islam membutuhkan institusi politik, negara, yang mampu mengayomi pelaksanaan syaariat secara sempurna. Tanpa adanya negara yang menerapkan syariat secara sempurna yakni Khilafah Islam, musuh-musuh Islam dengan mudah merampas hak-hak kaum Muslim untuk taat pada perintah Allah.

Dan kita membutuhkan Khilafah Islamiyah itu sekarang, bukan nanti, karena masalah umat Islam hari ini bukan hanya pelarangan burqa namun juga pembantaian oleh rezim antek barat, pendudukan Israel dan AS, penghisapan kekayaan alam, dan berbagai penyesatan pemikiran yang merusak generasi. Maka segeralah berjuang untuk tegaknya Khilafah Islam. []mediaumat.com


Pelarangan Burqa, Bukti Demokrasi Hanya Dukung Prilaku Buruk

Pemerintah Perancis menyatakan pelarangan burqa dalam rangka menjaga keutuhan, penyatuan, integrasi, atau kohesifitas kehidupan masyarakat Perancis yang beragam. Juga menjaga derajat perempuan dari penindasan. Benarkah? Lantas apa motif sesungguhnya? Dan benarkah mengenakan burqa perempuan menjadi tertintdas? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Apa motif sesungguhnya dari larangan mengenakan burqa di Perancis?

Ketakutan Perancis terhadap semakin besarnya geliat penerapan Islam di negara sekuler tersebut. Semangat kaum Muslim ini bisa berubah menjadi ancaman bagi eksistensi sekularisme dan kapitalisme.

Saat ini ada sekitar 5 juta populasi Muslim di sana, dan semakin marak trend menjaga pelaksanaan syariat Islam. Banyak restoran berdiri menyediakan hanya makanan halal, tempat pembelian daging halal, shalat Jumat yang jamaahnya tumpah ruah hingga ke jalan-jalan karena masjid tak lagi menampung dan juga lebih dari 2000 perempuan memakai burqa.

Semua menunjukkan semakin kuatnya ketaatan agama warga Muslim di sana. Jadi sekalipun kebebasan dan sekularisme disuntikkan setiap saat, namun gagal memberangus kebenaran Islam yang diemban setiap Muslim.

Benarkah burqa membelenggu perempuan?

Jelas ini pandangan yang tidak didukung argumentasi logis. Apa ukurannya untuk menyebut burqa membelenggu perempuan?

Perempuan Muslimah di Perancis bahkan sudah banyak yang menyampaikan testimoninya ke media-media internasional bahwa mereka mengenakan burqa adalah pilihan pribadinya yang lahir dari kesadaran dan ketaatan. Sama sekali tidak ada paksaan dari orangtua maupun suaminya, tidak ada tekanan dari organisasi atau masjid mana pun.

Mereka juga tidak merasakan kesulitan apa pun dalam beraktifitas dan menjalankan bisnis dengan pakaian Muslimah dan burqanya. Lalu dimana letak penindasannya?

Justru dengan larangan burqa dan sanksi tegas yang mulai diberlakukan minggu ini, saudara-saudara kita Muslimah di sana, yang taat pada agamanya, menjadi tertindas, terbelenggu dan kehilangan kebebasannya.

Mereka juga tidak mendapatkan keadilan di negara yang konon mengagungkan kebebasan, keadilan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).

Perancis adalah negara sekuler, jadi wajar melarang?

Perancis telah gagal meyakinkan warganegaranya bahwa demokrasi dan sekularisme adalah nilai-nilai terbaik bagi kehidupan. Ide sesat ini dikampanyekan seolah-olah menjamin kebebasan beragama, bertingkah laku, berkepemilikan dan berpendapat.

Jika konsisten dengan faham sekularismenya, justru seharusnya Perancis memberi kebebasan warganegara; tidak melarang burqa sebagaimana memberi kebebasan berpakaian minim, dan seterusnya.

Namun ketika menyangkut ketaatan terhadap agama Islam, nampak jelas pemerintah Perancis tidak lagi bisa konsisten, karena Perancis juga menyimpan bukti sejarah yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam matinya kapitalisme sekuler.

Apa yang dilakukan oleh Perancis hari ini pasti akan segera diikuti oleh negara-negara Barat lain dan bisa jadi dengan tekanan dan penindasan lebih besar. Ingatlah firman Allah

“…telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi…” [TQS Ali-Imran (3):118]

Bagaimana seharusnya sikap umat Islam?

Seharusnya umat Islam di seluruh dunia menyadari dua hal.

Pertama satu lagi bukti bahwa demokrasi , liberalisme dan sekularisme hanyalah ide sesat yang dikemas manis dijajakan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ide-ide ini hanya berlaku untuk mendukung perilaku buruk manusia yang ingin mengambil keuntungan dari pornografi dan pornoaksi yang melecehkan perempuan namun tidak berlaku untuk mendukung perempuan Muslimah yang taat pada aturan Penciptanya.

Maka jangan lagi ragu untuk segera meninggalkan demokrasi, dan ide-ide kapitalisme lainnya.

Kedua, Umat Islam membutuhkan institusi politik, negara, yang mampu mengayomi pelaksanaan syaariat secara sempurna. Tanpa adanya negara yang menerapkan syariat secara sempurna yakni Khilafah Islam, musuh-musuh Islam dengan mudah merampas hak-hak kaum Muslim untuk taat pada perintah Allah.

Dan kita membutuhkan Khilafah Islamiyah itu sekarang, bukan nanti, karena masalah umat Islam hari ini bukan hanya pelarangan burqa namun juga pembantaian oleh rezim antek barat, pendudukan Israel dan AS, penghisapan kekayaan alam, dan berbagai penyesatan pemikiran yang merusak generasi. Maka segeralah berjuang untuk tegaknya Khilafah Islam. []mediaumat.com


Rabu, 23 Maret 2011

Nasionalisme dalam Pandangan Syariah Islam

Banyak dari kalangan kaum muslim yang masih fanatik banget dengan faham yang satu ini. Maklum saja, hal ini memang sengaja dihembuskan oleh barat kepada dunia Islam sudah sejak lama. Bahkan nasionalisme-lah yang punya andil besar terhadap runtuhnya daulah khilafah Utsmaniyah yang beribukota di istanbul Turki pada waktu itu. Sadar maupun tidak sadar sebenarnya faham inilah salah satu sebab yang menjadi biang kerok terhadap perpecahan ummat hingga terbukti sekarang ini negri-negri muslim disekat-sekat menjadi 50 negara lebih. Ada apa sih dengan nasionalisme?. Berikut coba kami uraikan tentang faham nasionalisme ini,

Kelemahan Nasionalisme
1. Kualitas ikatannya rendah. Sehingga tidak mampu mengikat manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tatkala mewujudkan kesatuan ummat.

2. Ikatannya hanya bersifat emosional dan muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, disamping adanya peluang selalu berubah-ubah.

3. Ikatan ini bersifat temporal, akan meningkat ketika ada ancaman dari luar, sebaliknya pada saat keadaan normal atau aman ikatan ini tidak berarti sama sekali.

Bisa diambil contoh dahulu semangat nasionalisme masyarakat indonesia ketika masih dijajah sangat menggebu-gebu, bahkan kita sering dengar slogan “rawe-rawe rantas malang-malang putung” atau “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, namun setelah indonesia merdeka semangat nasionalisme itupun pudar, lihat saja kasus timor-timur, aceh, papua, dan daerah-daerah lain yang malah ingin memisahkan diri dari NKRI. Yang jadi pertanyaan mana nasionalismenya?

Pandangan Islam mengenai faham nasionalisme

Rasulullah SAW bersabda

“Bukan termasuk Ummatku orang yang m engajak pada Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.“(HR.Abu Dawud).

Islam tidak kenal dengan namanya nasionalisme, maksudnya itu tidak diajarkan oleh Islam bahkan harus dijauhi, tidak boleh diperjuangkan. Paham seperti ini dalam al-quran dikenal dengan ashabiyah. Rasulullah mempersatukan kaum muhajirin dan anshor dengan satu landasan yaitu akidah Islamiyah. Bukan karena landasan nasionalisme atau yg lainya. Rasulullah mengumpamakan kita seperti satu tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.

Menurut sejarah para sahabat Rasulullah SAW. di kota Madinah, bahkan masih di masa Baginda Rasulullah SAW masih hidup mengajarkan hal itu. Ketika masyarakat dan negara Islam baru tumbuh di kota Madinah. Dan kedudukan politik dan kekuatan ekonomi mereka menggeser kepentingan dan posisi kaum Yahudi, maka Yahudi membuat makar. Salah seorang tokoh Yahudi yang bernama Syas bin Qais yang sangat benci dengan bersatunya dua suku besar penghuni kota Madinah Aus dan Khazraj dalam ikatan Islam, membuat makar dengan mengirim seorang penyair agar membacakan syair-syair Arab Jahiliyah yang biasa mereka pakai dalam perang Buats. Perang Buats adalah perang yang terjadi selama 120 tahun (Ibnu Ishaq dalam Tafsir Al Mawardi) antara kaum Aus dan Khazraj. Dan selama musim perang tersebut, pihak Yahudilah yang mengambil keuntungan politik maupun ekonominya.

Penyair suruhan Syas berhasil mempengaruhi jiwa sekumpulan kaum Anshar dari kalangan Aus dan Khazraj di suatu tempat di kota Madinah. Syair jahiliyah tersebut mengantarkan mereka kepada perasaan kebanggaan dan kepahlawanan mereka di masa jahiliyah dalam medan perang Buats. Perasaan kebangsaan dan kepahlawanan kaum Aus maupun Khazraj itu memuncak hingga mereka lupa bahwa mereka sesama muslim. Yang Aus merasa Aus dan yang Khazraj merasa Khazraj. Dalam puncak emosi perang itu mereka akhirnya berteriak-teriak histeris ”Senjata-senjata!”.

Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah datang bersama pasukan kaum muslimin untuk melerai mereka. Rasulullah SAW bersabda:“Wahai kaum muslimin, apakah karena seruan jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku ada di tengah-tengah kalian. Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dan dengan Islam Allah putuskan urusan kalian pada masa jahiliyyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah pertautkan hati-hati kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaithan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah SAW. dengan senantiasa siap mendengar dan taat…” (Sirah Ibnu Hisyam Juz 1/555).

Dan marilah kita memperhatikan firman Allah SWT “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang ber-saudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran 103).

Umat Islam baik itu yang berkulit hitam atau putih, yang mancung maupun pesek, berdomisili di sabang sampai dimaroko, semua adalah saudara , tidak berbeda satu dengan yang lainnya dan yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya. Maka sudah selayaknyalah kita bersatu, bersatu dalam hal artian yang sebenarnya yaitu bersatu dalam bingkai negara khilafah. Dengan ikatan akidah islam bukan nasionalisme. Karena inilah wujud persatuan yang sesungguhnya.

Wallahu a’lam

Kamis, 13 Januari 2011

Demokrasi Melahirkan Banyak Pejabat ‘Kriminal’

Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.” Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional (MI, 10/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri ini.

Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai negara demokratis. Namun, apakah dengan status demokratisnya negeri ini telah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah? Apakah demokrasi bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya?

Tentu, kita merasa miris kalau melihat fakta aktual: sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Kebanyakan tersangkut kasus korupsi. Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 berstatus tersangka dan meringkuk di penjara. Contoh nyata, Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar terpilih menjadi Walikota Tomohon-Sulut periode 2010-2015 dan dilantik oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, pada rapat paripurna istimewa DPRD Tomohon, di Jakarta, Jumat (7/1). Padahal Jefferson sedang duduk di kursi pesakitan; ia dijadikan tersangka oleh KPK karena tindak pidana Korupsi. Yang lebih menggelikan, Jeferson lalu dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Baik yang melantik dan yang dilantik seolah sudah putus urat nadi rasa malunya. Jajaran pejabat yang akan mengurus rakyat dilantik oleh seorang terdakwa yang tersandung kasus ketika mengelola uang rakyat.

Jadi, rasanya omong-kosong kita berharap bahwa sistem demokrasi bisa melahirkan para pemimpin yang amanah. Begitu juga terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan-kepentingan perut dan nafsunya.

Biaya Mahal, Hasilnya Nol

Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Perlu dicatat, beberapa Pilkada akhirnya juga mengalami pengulangan pada tahun 2011 seperti kasus di Tangerang Selatan, setelah MK menerima gugatan ihwal banyaknya kecurangan dalam pelaksanaannya. Biaya ini jauh lebih besar daripada Pilkada tahun sebelumnya. Pilkada Tahun 2007 yang berlangsung di 226 daerah saja, yakni di 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, menelan dana sekitar Rp 1,25 triliun. Penghamburan uang rakyat itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13,3%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah nasibnya hanyalah para penguasa dan kroni-kroninya saja.

Pilkada yang bertujuan menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah pada faktanya juga telah melahirkan dampak negatif. Masyarakat, misalnya, menjadi terkotak-kotak bahkan saling berhadap-hadapan. Hubungan sosial menjadi renggang. Tak jarang proses Pilkada ini melahirkan bentrokan yang mengarah pada tindakan kekerasan.

Semua itu niscaya terjadi karena banyak faktor. Pertama: Banyak aturan Pilkada yang tumpang-tindih. Hal ini akibat terlalu besarnya dominasi partai politik dalam Pilkada. Kedua: Masih lemahnya pendidikan politik untuk masyarakat. Lemahnya pemahaman politik masyarakat ini ditunjukkan dengan masih banyaknya incumbent (pejabat lama) yang terpilih kembali. Padahal incumbent ini telah gagal dalam mensejaherakan rakyatnya. Ketiga: terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan calon yang “miskin”. Faktanya, banyak Pilkada berakhir di pengadilan.

Demokrasi: Akar Masalah

Secara sederhana, politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik (public policy) demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah demokrasi. Demokrasi kini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang menglobal, yang nyaris tanpa koreksi. Gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Intinya, kewenangan membuat hukum ada di tangan manusia. Demokrasi selalu dianggap sebagai tatanan atau sistem politik yang paling ideal. Dalam sistem demokrasi, rakyat diasumsikan akan benar-benar berdaulat dan mendapatkan seluruh aspirasinya. Dari sana, melalui proses politik yang demokratis, lantas dibayangkan bakal tercipta sebuah kehidupan masyarakat yang ideal: adil, damai, tenteram dan sejahtera.

Namun, semua itu hanyalah bayangan, bahkan tipuan. Dalam tataran praktik gagasan ideal itu tak pernah terwujud. Dalam negara demokrasi,
yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni sekelompok penguasa (dan pengusaha) saling bekerjasama untuk menentukan kebijakan politik, sosial
dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya. Partai politik dan wakilnya di Parlemen bekerja lebih untuk memenuhi aspirasinya sendiri.

Maka dari itu, tidak ada yang namanya masyarakat yang adil, damai, tenteram dan sejahtera dalam sistem demokrasi. Yang ada justru ketidakadilan yang makin menganga. Kesejahteraan memang ada, tetapi hanya untuk segelintir elit yang berkuasa. Sebaliknya, kebanyakan rakyat sengsara dan menderita; jauh dari gambaran ideal yang diharapkan.

Bagaimana bisa diharap ada keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari proses politik berlangsung secara transaksional. Pragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan. Kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan uang. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan atau kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan dan uang juga diperlukan untuk menutup seluruh kebusukan yang telah dilakukan selama berkuasa.

Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ‘ruh’ dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal atau penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah kenyataan umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali, termasuk di AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.

Oleh karena itu, pujian terhadap Indonesia yang dianggap sebagai ‘jawara demokrasi’ dengan julukan “Indonesia’s Shining Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia) hanya karena dianggap sukses menyelenggarakan Pileg dan Pilpres tahun 2004 dan 2009 secara damai perlu dipertanyakan. Sebab faktanya, keberhasilan itu tidak selaras dengan perbaikan hidup rakyat. Justru melalui pintu demokratisasilah liberalisasi di semua sektor kehidupan terjadi, dengan segala implikasi buruknya yang makin sulit dikendalikan.

Tak aneh bila kemudian banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem politik yang bermasalah. Tokoh Barat sendiri, Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government (Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).”

Benjamin Constan juga berkata, “Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Jadi, benar bahwa problem politik, bahkan juga problem ekonomi, problem sosial dan budaya (perilaku amoral) berawal dari demokrasi, yang tragisnya justru dianggap sebagai sistem politik yang paling baik. Na’udzu billah.

Saatnya Kembali ke Sistem Islam

Dasar politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui proses demokrasi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan.

Selama sekularisme dengan demokrasinya yang diterapkan, selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Zat Yang Mahaadil. Tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasinya berarti meninggalkan hukum terbaik, yakni hukum Allah SWT, sebagaimana al-Quran menegaskan:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Untuk itu, negeri ini harus segera mengubur sekularisme, lalu menggantinya dengan akidah dan syariah Islam. Segera tinggalkan demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, lalu ubah dengan sistem Khilafah dengan kedaulatan hukum syariahnya. Inilah yang akan menjamin kesejahteran, keadilan dan keberkahan di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Wallahu a’lam. []

KOMENTAR AL-ISLAM

Kesenjangan pendapatan di antara kelompok masyarakat di Indonesia terus melebar. Ini terjadi lantaran belum ada keseriusan Pemerintah untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan (Media Indonesia, 7/1/2011).

Hanya ilusi, mengharapkan keadilan dari sistem ekonomi liberal-kapitalistik. Sistem ini hanya menjamin kesejahteraan bagi orang-orang yang ada dalam oligharki kekuasaan. Rakyat hanya jadi ’sapi perah’ penguasa dan wakil rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan mereka: pajak, pencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif listrik, dll. Solusi final problem ini hanya dengan menegakan sistem ekonomi Islam dalam institusi Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.

copyright Al-Islam Edisi 539

Kamis, 06 Januari 2011

* * * * * * * * * * * * * 06.01.11 Serangan Israel Menewaskan Satu Orang Warga Palestina Ke

Dalam pernyataannya kepada surat kabar “Al-Quds Al-Arabi” kemarin (2/1/2011), Adnan Damiri, juru bicara dinas keamanan mengungkapkan bahwa Hizbut Tahrir dilarang di Tepi Barat. Sehingga secara pribadi dan melalui media ia menyampaikan larangan Hizbut Tahrir ini. Apalagi, seperti pernyataan Damiri, bahwa Hizbut Tahrir tidak mengakui UUD Palestina, undang-undang, bendera Palestina, dan lagu kebangsaan Palestina. Dengan demikian Hizbut Tahrir menyerang simbol nasional Palestina.

Bahkan, Damiri asal bicara tentang penangkapan yang dilakukan oleh Otoritas terhadap para anggota Hizbut Tahrir yang diklaim melakukan “kegiatan provokatif”, yang jumlahnya hampir 100 orang selama tiga hari terakhir. Damiri berkata bahwa Hizbut Tahrir berlebihan tentang jumlah mereka yang ditangkap.

Dalam menyikapi berbagai kezaliman dan kebohongan ini, maka Kami di Hizbut Tahrir Palestina menyampaikan:

1. Otorita Palestina yang dikatakan oleh Damiri itu, meminta legalitasnya kepada pendudukan Yahudi melalui berbagai perjanjian pengkhianatan yang mengharuskan PLO dan Otoritas menyerahkan sebagian besar Palestina kepada Yahudi. Otoritas berkuasa seperti budak dengan senjata Yahudi, dan dengan pendanaan negara-negara penjajah yang telah menciptakan negara pendudukan, serta memberinya senjata, uang dan resolusi internasional yang zalim. Dengan demikian, Otoritas tidak memiliki legalitas di sisi Allah, dan tidak pula di sisi rakyat Palestina. Jadi, mengapa Hizbut Tahrir harus mengakuinya. Sebab, Hizbut Tahrir tidak mengakui pendudukan, perjanjian dan Otoritas yang dihasilkan dari perjanjian tersebut.

2. Hizbut Tahri telah bertolak dari Al-Quds sejak dekade lima puluhan abad yang lalu. Hizbut Tahrir telah menancapkan akarnya di bumi, mengokohkan batangnya, dan menyebar cabang-cabangnya di lima benua, daun-daunnya telah berkibar, buahnya telah matang, dan tiba saat untuk memetiknya. Dengan demikian menjadi sulit mencapai keinginan untuk membahayakan Hizbut Tahrir. Bahkan negara-negara besar dan negara-negara regional sekalipun tidak berdaya menyentuh Hizbut Tahrir, menghentikan aktivitasnya, dan melarangnya. Lalu, siapa Otoritas ini, hingga ia melarang Hizbut Tahrir?

3. Sekiranya Damiri masih punya sedikit malu, tentu ia tidak akan berani dan berbicara tentang larangan sebuah partai internasional yang besar ini. Hizbut Tahrir telah ada di tanah Palestina yang diberkati sebelum adanya PLO, dan sebelum adanya Otoritas yang kurus dan tidak berdaya, di mana kekuasaannya sudah tidak tersisa lagi, selain melakukan koordinasi keamanan untuk menjaga keamanan pendudukan, dan memburu orang-orang ikhlas di antara rakyat Palestina, serta melemparnya ke dalam penjara .

4. Adapun perkataan Damiri tentang jumlah mereka yang ditangkap dan mereka yang dilepaskan, maka itu terbantahkan oleh pengadilan Otoritas, di mana kemarin dan hari ini telah mengadili puluhan aktivis Hizbut Tahrir dari utara hingga selatan.

5. Kami di Hizbut Tahrir menyadari sepenuhnya bahwa Otorita telah meletakkan dirinya dalam keranjang negara-negara besar yang memerangi Islam, dan berusaha mencegah berdirinya Khilafah. Namun usaha mereka itu hanya mimpi, sebab janji Allah segera akan datang, sementara kaum kafir dan para penolongnya akan terhina.

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (TQS. Al-Mu’min [40] : 51).

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 3/1/2011.


Senin, 03 Januari 2011

Republik Bola dan Berhala Nasionalisme


Kemevnangan Tim Garuda atas tim Philipna dalam laga sepakbola piala AFF Suzuki 2010 benar-benar menyihir para bola mania tanah air. Aneka tingkah polah soporter tampak dari atribut, dan dandanan ala hooligan Inggris juga mewarnai euporia kemenanngan tersebut.

Kemenangan tersebut dinyatakan oleh Presiden SBY sebagai bukti bahwa Indonesia bisa mengubah keadaan apabila bersatu dan bersama-sama berjuang dengan tidak saling menyalahkan satu sama lain.

Sepak bola, bagi Presiden, adalah salah satu wahana pemersatu bangsa di tengah dinamika demokrasi yang terkadang memang wajar memunculkan benturan elit politik baik di tingkat daerah maupun pusat. Sedangkan menurut Abu Rizal Bakri, “Sepak bola telah terbukti bisa membangkitkan rasa nasionalisme, membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang kadang-kadng turun naik,” (Antara).

Bahkan demi kebanggan tersebut keluarga besar Bakrie hari ini memberikan hibah tanah seluas 25 hektar kepada PSSI,” kata Sekjen PSSI Nugraha Besoes saat pertemuan timnas, pengurus PSSI dengan keluarga besar Bakrie di kediaman Aburizal Bakrie di Jakarta, Senin. (Antara). tanah berlokasi di Jonggol Jabar tersebut akan dibangun pusat pelatihan PSSI lengkap dengan prasarananya.

Tempat ini akan menjadi “base camp” PSSI. Andai saja keluarga Bakrie menghadiahkan tanah itu kepada warga korban Lapindo dimana hingga kini PT Minarak Lapindo belum juga mau melunasi kewajibannya yakni ganti rugi tanah yang dituntut oleh warga Siring Sidoarjo.

Sementara Presiden SBY pernah meyakinkan kepada warga Lapindo bahwa keluarga Bakrie pasti melunasinya karena kekayaannya yang melimpah. Tapi mereka sepertinya telah kehabisan air mata dan kehilangan harapan untuk mendapatkan hak-haknya.

SBY agaknya menyadari berbagai ekses proyek demokratisasinya. Dan Sepak Bola tampaknya dipilih sebagai ‘solusi’ untuk mempersatukan rakyat dan elit dari segala bentuk konflik politik. Jadi untuk sementara waktu para elit maupun gras root harus melupakan jejak rekening gendut, skandal century, korban Merapi-Mentawai, Lumpur Lapindo, bocoran kawat Wikileaks dan rencana pencabutan subsidi (baca: kenaikan) BBM. Lebih Ironis bak orchestra tanpa seorang dirigen, media massa juga ikut tersihir.

Mereka berlomba-lomba menjadikannya sebagai head line news. Bahkan reportase sejumlah staisun TV seratus persen berisi berita ulasan aksi-aksi individu para pemain naturaliasi.

Menjadi Republik Bola
Italia, Brasil, dan Argentina dapat dikatakan mewakili profil Republik Bola. Di tengah kemiskinan, pengangguran yang tinggi, dan kebodohan masif, anak bangsa Republik Bola melihat bintang sepak bola sebagai obsesi hidupnya. Lalu para Kapitalis pun menemukan lahan empuk ini sebagai intertainment industry untuk mendulang banyak dollar.

Di saat begitu tingginya kompetisi hidup, anak-anak gras root hanya melihat satu-satunya jalan instan meraih sukses adalah menjadi bintang bola dan artis. Walhasil para dhu’afa di negeri ini pun yang masa depannya suram lebih memilih mengadu nasib di club-club Liga Nasional daripada meraih gelar sarjana yang tak terjangkau biayanya.

Rakyat di Republik Bola memiliki kesadaran politik (tentang hak dan kewajiban rakyat) yang teramat rendah. Sebagai contoh, di Italia hari ini jelas-jelas di pimpin oleh seorang Silvio Borlusconi politisi korup dan sangat doyan zina. Kemampuanya menduduki kursi Presiden tak lepas dari perannya dalam bisnis Club SepakBola negeri Azuri ini.

Begitu pula di Brasil dan Argentina setali tiga uang. Situasi yang sama segera menyusul di negeri tercinta ini. Baru saja ICW melaporkan sepuluh tersangka korupsi berhasil menjadi Kepala Daerah. Mengapa, soalnya rakyat Republik bola tak terlalu paham poltik.

Kebodohan politik dimanfaaatkan kaum oponturir politk membeli suara mereka. Cukup dengan merogoh kocek sepuluh ribu, mereka membeli suaranya. Sebab mereka hanya butuh untuk makan dan membeli tiket bola.

Akibatnya politisi korup menikmati sikap cuek bebek rakyatnya. Jurus Wirosableng 212 — 2 tahun pertama kembalikan modal, hanya 1 tahun untuk membangun dan 2 tahun sisanya bkin proyek-proyek untuk curi star kampanye jabatan keduanya — dipakai untuk menaklukkan konstituenya. Ya sungguh mengenaskan!

Kebanggaan Semu
Ketum Partai Demokrat mengomentari kemenangan itu sebagai modal untuk memupuk rasa kebanggaan bangsa Indoensia. “Sepak bola telah terbukti bisa membangkitkan rasa nasionalisme, membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang kadang-kadng turun naik,” kata Ical.

Sementara itu, kata Presiden kemenangan itu adalah wujud persatuan, dimana diharapkan dapat menjadi tradisi dan dibudayakan sehingga rakyat Indonesia bisa berbangga terhadap negerinya. Jadi begitu sederhananya makna nasionalisme di negeri ini. Tidakkah ada kebanggaan yang lebih hebat dibandingkan sekedar prestasi olah raga.

Tidaklah mengherankan mereka membuang kebanggaan nasional yang hakiki dengan menjual industry strategis itu kepada pihak asing. Indosat melayang, Krakatau Steel dan industry semen nasinal dijual, Pertamina tidak dipercaya mengelola blok Cepu, Natuna pasca kedatangan Obama diserahkan ke Exon, dan Telkom dan PLN pun segera menyusul.

Pada rezim sebelumnya karena desakan IMF, IPTN dibubarkan, Gas Tangguh diobral murah dan Kapal Tangker dilego. Para elit berkonspirasi menikmati hasil penjualan industry strategis di atas. Sementara rakyat dininabobokan dengan hingar bingar permainan si kulit bundar itu.

Atas ‘prestasi’ tersebut mereka masih saja mengklaim sebagai pembela slogan demi menjaga NKRI dan Pancasila. Sedangkan para pejuang Syariah ikhlas harus siap mendpatkan stigma negatifi sebagai kelompok radikal pengusung ideology transasional yang membahayakan NKRI.

Sesungguhnya nasionalisme (qaumiyah) yang bekembang saat ini merupakan perwujudan ashobiyah jahiliyyah. Ashobiyyah dipicu oleh dorongan naluri mempertahankan diri (survival instink) yang lahir dalam bentuk ambisi cinta kekuasaan (hubbub as-siyadah) dan rasa ingin memiliki (hubb attamalluk).

Naluri ini juga diciptakan oleh Allah SWT kepada sekawan gajah dan harimau. Ikatan berdasarkan qaumiyah adalah ikatan yang derajatnya paling rendah, menjijikkan dan hina. Ia juga berwatak emosional dan temporal.

Di era jahiliyah orang-orang Quraisy terbiasa menunmpahkan darah sesama mereka hanya gara-gara unta dan perempuan. Di abad modern lahirlah nazisme Hitler dan Fasisme Mussolini. Sekarang Hologinisme dan fenomena bonek juga hadir karena fanatisme sporter bola.

Contoh lain dalam kasus konfrontasi Indo-Malaisya, penganut faham nasionalis juga lebih peduli membela sengketa soal batik dan reyog daripada menjaga persaudaraan Islam antar bangsa Melayu.

Penutup
Rasulullah mengingatkan dengan ungkapan LAISA MINNA MAN DA’A, WA MAN QATALA, WA MAN MATA, ‘ALA ‘ASHOBIYATIN (Bukan termasuk golongan kami, barang siapa yang menyeru, berperang dan mati membela ‘ashobiyah). Belia juga memperingatkannya FAINNAHU MUNTANITUN (sesungguhnya slogan jahiliyyah itu menjijikkan).

Maka hendaklah kita mencamkan wasiat Shahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Ikatan Islam akan lepas satu persatu bila di kalangan Umat Islam timbul sebuah generasi yang tidak paham dengan jahiliyyah” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Al-Fawaid, hal. 143).

Sebagai penutup marilah kita renugkan kata-kata hikmah Al hafid ibn ‘Abd Al Barr Al Andalusy:

Wahai saudaraku, sesungguhnya di antara laki-laki itu berujud binatang…..dalam bentuk seorang laki-laki yang mendengar dan melihat….cerdas pada setiap musibah yang menimpa hartanya….namun, jika agamanya ditimpa musibah ia tidak pernah merasa…

Jadi kalau soal bola kemenangan menjadi kebanggan dan kekalahan adalah mushibah besar. Sementara berita maraknya pornografi, free sex di kalangan remaja, penjualan BUMN, legalisasi kaum homo, syariat Islam malah dianggap melanggar HAM, dan maraknya aliran sesat dibiarkan angin lalu. Wallahu A’lam.

Oleh: A. Baedlowi (Alumni Ponpes Al Huda Oro-oro Ombo Madiun)

Sumber: eramuslim.com

Sabtu, 01 Januari 2011

Keluarga Sakinah Penegak Syariah dan Khilafah

Keluarga Pengemban Dakwah

Islam mewajibkan setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Menjadikan akidah Islam sebagai asas rumah tangga berarti mendudukkan akidah sebagai penentu tujuan hidup dalam berumah tangga. Akidah Islam menetapkan bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menggapai ridha Allah Swt. melalui ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada-Nya (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Berdasarkan hal ini, maka orang yang berpegang teguh pada akidah Islam akan senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam, termasuk dalam membangun kehidupan rumah tangga; membina dan menjalaninya. Motivasi dalam berkeluarga adalah semata-mata berharap mendapat ridha-Nya. Keberhasilan materi bukan hal yang utama. Setiap perintah Allah akan dilaksanakan sekalipun berat, penuh rintangan dan halangan, serta tidak terbayang keuntungan materinya. Sebaliknya, semua yang dilarang-Nya akan senantiasa dihindari walaupun menarik hati, menyenangkan, dan menjanjikan kesenangan materi.

Salah satu perintah Allah Swt. kepada suami dan istri adalah dakwah. Perhatikanlah firman Allah Swt. berikut:

]وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar. (QS at-Taubah [9]: 71).

Dalam ayat ini Allah Swt. menyatakan bahwa berdakwah merupakan aktivitas yang menyatu dengan keimanan seseorang, baik laki-laki maupun wanita. Allah Swt. juga berfirman:

]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa dakwah bukanlah tanggung jawab seseorang saja, tetapi harus dilakukan secara berjamaah; harus ada sekelompok orang beranggotakan laki-laki maupun perempuan yang mampu menegakkan tujuan dakwah.

Jadi jelas, bahwa dakwah memang wajib dilakukan oleh setiap muslim laki-laki maupun wanita, suami maupun istri. Sekarang, setidaknya separuh jumlah penduduk dunia adalah wanita. Padahal pihak yang layak dan tepat berdakwah di kalangan wanita adalah kaum wanita; ibu dan calon ibu. Apalagi kondisi wanita sekarang telah dijadikan sasaran yang empuk untuk meruntuhkan suatu bangsa.

Dengan demikian, suami dan istri sama-sama meyakini bahwa dakwah merupakan kewajiban mereka. Suami tidak akan menghalang-halangi istrinya berdakwah. Sebab, menghalangi istri berdakwah berarti menghalanginya menunaikan kewajiban. Hal ini sama saja dengan menjerumuskannya ke dalam dosa. Sebaliknya, istri juga akan meridhai suaminya berdakwah. Suatu kali suaminya kendur dalam dakwah, bersegeralah ia menyemangatinya. Istri bangga memiliki suami sebagai pengemban dakwah, suami pun bangga memiliki istri pengemban dakwah. “Keluarga kami adalah keluarga pengemban dakwah,” begitu jiwanya berkata. Inilah kebahagiaan ideologis.

Mengatasi Problem Keluarga

Hidup berumah tangga bukanlah jalan tol yang tanpa hambatan. Ujian, cobaan, dan hambatan akan datang silih berganti. Hal ini penting selalu disadari oleh setiap pasangan suami-istri.

Sepasang suami-istri akan ingat bahwa ketika mereka menikah berarti dia telah menjawab satu pertanyaan penting dalam hidupnya, “Dengan siapa Anda akan berjuang bersama mengarungi kehidupan demi mencapai ridha Allah dan masuk surga bersama-sama?” Dengan mengingat hal ini maka suami dan istri adalah sahabat satu sama lain. Secara îmâni, suami-istri bukan sekadar bertujuan mencapai kebahagiaan seksual atau status sosial tinggi, melainkan masuk surga bersama-sama. (Lihat: QS az-Zukhruf [43]: 70-71). Rumah tangga yang dibentuknya bukan sembarang rumah tangga, melainkan rumah tangga yang akan diboyong ke surga. Inilah perkara yang senantiasa diingatnya ketika menghadapi persoalan. Karenanya, ketika terjadi guncangan rumah tangga, mereka saling berpegangan, bukan justru saling berlepas tangan. Solusi dan prinsip dalam menyelesaikan persoalan pun senantiasa disandarkan pada akidah dan syariat Islam.

Di antara persoalan yang muncul dalam rumah tangga adalah:

1. Ketimpangan pemahaman Islam antara suami-istri. Adanya jurang pemahaman sepasang suami-istri dapat menghadapi keguncangan dalam rumah tangga. Dakwah pun akan terganggu. Persoalan ini perlu diselesaikan dengan cara menyamakan persepsi. Caranya adalah berdialog; bukan dialog seperti penguasa dengan rakyat, tetapi dialog antara dua sahabat yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Jika dialog terasa sulit, maka suami akan meminta dan mendorong istrinya mengikuti proses pembinaan. Hal yang sama dilakukan juga oleh istri kepada suaminya. Rasulullah saw. sering berdialog dengan istri-istrinya.

2. Beban hidup keluarga. Kezaliman penguasa seperti menaikkan harga BBM telah memukul masyarakat, tak terkecuali keluarga pengemban dakwah. Saat menghadapi persoalan ini keluarga Muslim akan menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka yakin, Allah sajalah Maha Pemberi rezeki; Dialah yang meluaskan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; Dia pula yang menyempitkan rezeki atas siapa saja yang Dia kehendaki. Keluarga Muslim memandang kaya atau miskin hanyalah cobaan dari Allah, Zat Yang Mahagagah. Hal ini justru mendorong mereka untuk semakin taat kepada Allah Swt. (Lihat: QS al-A‘raf [7]:168). Suami akan terus berusaha mencari nafkah. Istri pun tidak banyak menuntut.

Janganlah mengira Rasulullah hidup penuh kelonggaran. Sudah dimaklumi, Rasulullah saw. hidup dalam kefakiran. Nabi kekasih Allah tersebut dan keluarganya sering tidak kenyang makan selama tiga hari berturut-turut. Hal ini beliau alami hingga pulang ke rahmatullah (HR al-Bukhari dan Muslim). Namun, beliau dan istri-istrinya tetap teguh dalam dakwah Islam.

3. Masalah prioritas amal suami-istri. Kadangkala suami memprioritaskan agar istrinya mengasuh anak yang sakit, misalnya; sementara istrinya lebih mengutamakan kontak tokoh. Perselisihan pun terjadi. Sebenarnya, penentuan prioritas (al-awlawiyât) harus mengacu pada hukum syariah. Oleh sebab itu, suami dan istri penting memahami kedudukan masing-masing berdasarkan syariah. Suami wajib memperlakukan istri dengan baik (ma‘rûf), memberi nafkah, mendidik istri, menjaga kehormatan istri dan keluarga. Istri berkewajiban taat kepada suami, menjaga amanat sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt, menjaga kehormatan dan harta suami, meminta izin bepergian kepada suami. Sementara itu, kewajiban bersamanya adalah menjaga iman dan takwa; menjaga senantiasa taat kepada Allah Swt. menghindari maksiat, dan saling mengingatkan. Diupayakan, semua kewajiban dikompromikan antara suami dan istri. Jika pada suatu situasi dan kondisi tertentu terjadi bentrokan kepentingan antara peran sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt dan tugas dakwah, sedangkan pemaduan keduanya tidak dapat dilakukan, maka secara syar‘i prioritas yang harus dilakukan adalah kedudukan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt.

Prinsip Dakwah Sinergis

Ada lagi persoalan lain yang kadangkala muncul. Namun, bagi setiap persoalan yang muncul, inti pemecahan masalahnya adalah:

1. Mengetahui hak dan kewajiban masing-masing serta hak dan kewajiban bersama, lalu berupaya mengkompromikannya. Jika tidak bisa, kembali pada awlawiyât berdasarkan hukum syariah.

2. Membangun komunikasi dan saling pengertian. Rasulullah saw. senantiasa berkomunikasi dengan Ibunda Khadijah ra. Beliau bersama istrinya berupaya bersama membincangkan persoalan dakwah. Bahkan, beliau menyempatkan berkomunikasi dan bersenda-gurau dengan istri-istrinya setiap sehabis isya. Setelah itu, barulah beliau menginap di tempat istri yang mendapat giliran. Nabi saw. mencontohkan bahwa komunikasi merupakan persoalan vital dalam rumah tangga. Tentu, saat komunikasi bukan melulu persoalan yang berat-berat, melainkan juga terkait dengan persoalan ringan seperti makanan yang enak, foto keluarga, dll.

3. Saling mendukung sebagai tim dakwah terkecil. Dukungan orang-orang terdekat—suami dan istri, anak-anak, orangtua, dan orang-orang yang berada di sekitarnya—langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesuksesan tim dakwah keluarga. Beban rumah tangga, nafkah, dan dakwah jelas sangat berat. Akan lebih berat lagi jika suami/istri atau keluarga tidak memahami kewajiban ini. Sebaliknya, semua tugas akan terasa ringan dan menyenangkan, rasa lelah segera hilang jika suami/istri dan keluarga memahami aktivitasnya; mendukung, apalagi turut membantu. Suami dan istri sama-sama memahami bahwa aktivitas tersebut bukan didasari oleh keinginan untuk aktualisasi diri, karir, ataupun untuk persaingan antara suami-istri. Keduanya akan saling menolong dalam beribadah kepada Allah dan berlomba dalam kebaikan. Dengan begitu, akan tercipta sebuah keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi Muslimah shalihah, seberat apa pun beban yang harus ditunaikan tidak berarti apa-apa jika dukungan dan ridha suami senantiasa menyertainya. Begitu juga, seorang suami salih akan tetap tersenyum bahagia jika istrinya shalihah dan menopang dakwahnya. Di sinilah peran penting suami-istri saling mendukung dalam menunaikan kewajiban dakwah dari Allah, Zat Yang Mahakuasa. Perlu suami-suami menjadi seperti Nabi saw. dan para sahabat; perlu istri-istri menjadi laksana ummul mukminin dan shahabiyât yang secara harmonis berjuang bersama memperjuangkan Islam.

4. Pentingnya ukhuwah sesama pengemban dakwah. Dakwah tidak mungkin dilakukan secara individual. Dakwah berjamaah adalah suatu keniscayaan. Ukhuwah di antara pengemban dakwah juga terus dipelihara selama mereka berinteraksi. Dengan begitu, satu sama lain akan saling mengenal, saling memahami, dan saling membantu. Masing-masing memahami karakter, kemampuan, kondisi, kendala, serta apa yang dibutuhkan. Tidak akan ada beban yang diberikan di luar kemampuan seseorang atau membuat dia lalai terhadap kewajibannya yang lain. Kalaupun ada kendala pada individu pengemban dakwah bukan langsung disalahkan, tetapi akan diteliti akar permasalahannya dan dicari solusi pemecahannya. Sebuah jamaah dakwah ibarat roda yang berputar. Masing-masing bagian menempati posisi dan fungsi masing-masing; kadang berada di bawah kemudian bergulir ke atas. Demikian halnya dengan seorang pengemban dakwah. Ketika dia sedang diliputi kendala, keadaannya ibarat bagian bawah roda. Saudaranya sigap dan cepat bereaksi untuk membantunya. Jika ini terjadi maka suatu keluarga pengemban dakwah yang tengah mendapatkan kesulitan diringankan oleh saudaranya dari keluarga lain.

Profil Keluarga

Keluarga Nabi saw. adalah keluarga sakinah penegak syariah. Beliau sebagai seorang suami sering bergurau, berbuat makruf, dan lembut terhadap istrinya. Beliaupun sekaligus rasul pejuang Islam. Salah seorang istrinya, Ibunda Khadijah, adalah penopang utama dakwah Nabi saw., beriman pertama kali, membiayai hampir seluruh dakwahnya. Sekalipun demikian, Ibunda Khadijah tetap rendah hati, berakhlak mulia, dan menjaga kesuciannya. Ia juga menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya serta tetap menghormati dan menaati Rasulullah saw. sebagai suaminya. Dari ibu mulia inilah lahir perempuan mulia Fatimah az-Zahra. Hidup beliau dilalui dengan penuh kesetiaan dan kebajikan. Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Ia mendampingi Rasulullah saw. dalam suka dan duka perjuangan (Lihat: Akhmad Khalil Jam’ah, Wanita Yang Dijamin Syurga, Darul Falah, Jakarta, 2002, hlm. 16).

Ibunda Khadijahlah yang senantiasa menenangkan ketakutan Nabi saw. Tampaklah, keluarga beliau adalah keluarga sakinah yang pejuang, atau keluarga pejuang yang sakinah.

Profil seperti itu terjadi juga pada keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Dia bersama istrinya Sumayyah binti Khubath ra., dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami-istri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi salih. Sang suami amat sayang kepada istri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah penegak Islam.

Contoh lain adalah keluarga Abu Thalhah. Beliau adalah seorang pejuang dan sahabat dekat Nabi saw. Istrinya bernama Ummu Sulaym binti Milhan ra. Dia adalah seorang perempuan Anshar. Ia termasuh shahabiyah yang utama. Ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan, dan keikhlasan bagi Allah dan Rasul terkumpul dalam dirinya. Sebagai ayah dan ibu mereka berhasil. Buktinya, Anas bin Malik yang banyak meriwayatkan hadis itu adalah anak mereka. Hubungan suami-istri pun mesra. Ummu Sulaym senantiasa menyediakan makanan dan minuman, berdandan cantik, bercakap dan bersenda gurau. Sungguh, keluarga mereka bukan hanya pembela Nabi saw., melainkan juga sakinah.

Banyak lagi contoh-contoh profil keluarga sahabat. Intinya, mereka memadukan peran ayah/ibu dan anak, peran suami-istri, dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan perjuangan Islam. Jika kita hendak menjadi keluarga seperti mereka maka kita mesti menjadi ‘keluarga sakinah penegak syariah dan Khilafah’. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.