Syariah-Khilafah1924
Bersatu Bergerak Tegakan Ideologi Islam
Sabtu, 24 November 2012
Bendera dan Panji Islam; al-Liwa dan ar-Rayah
“Rayahnya (panji peperangan) Rasul SAW berwarna hitam, sedang benderanya (liwa-nya) berwarna putih”. (HR. Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)
al-Liwa (Bendera Putih)
Telah menjadi hal yang semestinya setiap komunitas manuisa dalam bentuk apapun memiliki sesuatu yang menjadi simbol khas mereka yang menjadi pembeda dengan selain mereka. Salah satu bentuk yang umum adalah sebuah bendera. Mulai dari klub sepak bola, organisasi masyarakat, partai politik, hingga Negara memiliki bendera tertentu sebagai simbol keberadaan mereka. Lalu adakah Islam sebagai komunitas manusia terbesar memiliki bendera yang menjadi simbol khas mereka?
Hari ini amat sedikit umat Islam yang masih memperdulikan syiar mereka, salah satunya tentang bendera Islam. Begitu banyak umat Islam yang sudah lagi tak mengenal apa dan bagaimana bendera mereka, bendera Islam, bendera Rasululah. Jika dahulu anak – anak kaum muslimin tidak perlu diperkenalkan seperti apa dan bagaimana bendera mereka, karena mereka hidup dibawah naungan Negara Islam (Khilafah) yang menjadikan bendera Islam, bendera Rasulullah sebagai satu – satunya bendera yang mereka kenal dan cintai, bendera yang dengannya mereka tumbuhkan semangat jihad, menjaganya melebihi menjaga jiwanya sendiri. Namun hari ini adalah sebaliknya, anak – anak kaum muslimin sama sekali tidak mengenal apa itu al-liwa dan ar-rayah yang mereka kenal hanyalah secarik kain warna – warni peninggalan kafir penjajah tanah mereka. Sedari kecil mereka telah dijejali dengan ide – ide Nation State buatan kafir pejajah. Maka wajar jika anak – anak kaum muslimin hari ini sudah tak mengenal lagi bagaimana bendera Rasulullah saw.
Jika hari ini dan sejak puluhan tahun yang lalu, tiap – tiap Negara memiliki bendera masing – masing lalu apakah Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah saw (622 M) dan telah berdiri selama 1.302 tahun hingga keruntuhannya 1924 M melalui tangan kafir Mustafa Kamal laknatullah alaih, tidak memiliki bendera yang khas?
Negara Islam sudah tentu memiliki bendera yang khas. Islam merupakan dien yang lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan salah satunya dalam masalah tata negara, termasuk pengaturan bendera. Al-liwa (bendera putih) dan ar-rayah (panji – panji hitam) telah menjadi bagian penting dalam Islam.
Di dalam bahasa Arab, bendera dinamai dengan liwa (jamaknya adalah alwiyah). Sedangkan panji-panji perang dinamakan dengan rayah. Disebut juga dengan al-‘alam[1]. Rayah adalah panji-panji yang diserahkan kepada pemimpin peperangan, dimana seluruh pasukan berperang di bawah naungannya. Sedangkan liwa adalah bendera yang menunjukan posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan.
Liwa adalah al-‘alam (bendera) yang berukuran besar. Jadi, liwa adalah bendera Negara. Sedangkan rayah berbeda dengan al-‘alam. Rayah adalah bendera yang berukuran lebih kecil, yang diserahkan oleh khalifah atau wakilnya kepada pemimpin perang, serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya. Rayah merupakan tanda yang menunjukan bahwa orang yang membawanya adalah pemimpin perang[2].
Liwa, (bendera negara) berwarna putih, sedangkan rayah (panji-panji perang) berwarna hitam. Banyak riwayat (hadist) yang menerangkan warna liwa dan rayah, diantaranya :
“Rayahnya (panji peperangan) Rasul SAW berwarna hitam, sedang benderanya (liwa-nya) berwarna putih”. (HR. Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)
Panji (rayah) Nabi saw berwarna hitam, sedangkan liwa-nya (benderanya) berwarna putih[3].
Meskipun terdapat juga hadist-hadist lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang), akan tetapi sebagian besar ahli hadits meriwayatkan warna liwa dengan warna putih, dan rayah dengan warna hitam.
Panji-panji Nabi saw dikenal dengan sebutan al-‘uqab, Seperti yang dijelaskan:
Nama panji Rasulullah saw adalah al-‘uqab[4].
Tidak terdapat keterangan (teks nash) yang menjelaskan ukuran bendera dan panji-panji Islam di masa Rasulullah saw, tetapi terdapat keterangan tentang bentuknya, yaitu persegi empat.
“Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol”. (HR. Tirmidzi)
Al-Kittani[5] mengutarakan sebuah hadist yang menyebutkan :
Rasulullah saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta.
Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan ‘Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’. Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih. Hal ini dijelaskan oleh Al-Kittani[5], yang berkata bahwa hadist-hadist tersebut (yang menjelaskan tentang tulisan pada liwa dan rayah) terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas. Imam Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Buraidah al-Aslami, sedangkan Ibnu ‘Adi melalui jalur Abu Hurairah.
Begitu juga Hadist-hadist yang menunjukan adanya lafadz ‘Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’, pada bendera dan panji-panji perang, terdapat pada kitab Fathul Bari[7].
Al-Liwa dan ar-Rayah adalah bagian dari syi’ar Islam. Ia merupakan bagian dari atribut – atribut kenabian dan simbol dari Negara Islam. Al-liwa dan ar-rayah merupakan simbol dari kemuliaan dan keagungan yang didasarkan pada cahaya dan petunjuk (Allah), menjadi simbol tertinggi dalam menjalankan misi – misi syar’iyyah. Bendera dan panji ini senantiasa dipasang oleh tangan – tangan pemberani, suci, dan mulia, tangan Rasul saw dalam setiap peperangan dan ekspedisi militer diatas sebilah tombak, tangan para pemberani, seperti Ja’far ath-Thiyaar, Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin Umair, dan lainnya.
Kaum muslimin sudah selayaknya berebaris berada dibawah naungan al-Liwa dan ar-Rayah. Bendera yang dicipta atas perintah Allah, bukan ci[ptaan akal manusia. Kita adalah umat Rasulullah, maka tunjukkanlah kasih sayang kita kepada Rasul kita dengan kembali mengibarkan bendera Rasulullah saw. Jika Rasul saw bersama kita, sanggupkah kita berada di belakangnya dengan membawa bendera yang bukan bendera Rasulullah? Padahal dengan bendera inilah Rasulullah menyatukan umat manusia yang mengucapkan kalimat yang tertulis padanya. Kibaran bendera inilah yang telah membawa risalah Allah ke seluruh penjuru dunia. Dengan melihat bendera inilah jantung musuh-musuh Islam berdegup kencang menanti saat kehancuran mereka. Bendera ini telah dibawa dan diangkat oleh para pejuang Islam ketika mendakwahkan agama Allah. Inilah satu-satunya bendera kita, bendera Rasulullah, bendera Islam, bendera Negara Islam.
Kamis, 07 Juli 2011
Dengan Khilafah, Kemiskinan Tinggal Sejarah!
Kemiskinan merupakan masalah yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan sebanyak 1,2 milyar orang menderita kelaparan atau kekurangan gizi; 100 juta orang tidak memiliki tempat tinggal, dan kira-kira 300 juta orang di Afrika saja tidak punya akses terhadap air minum yang bersih. Dunia Islam juga menderita; sebagai gambaran, di Bangladesh 35,6% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, dan 77,8% hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Beberapa negara, seperti Bangladesh, Indonesia, dan Malaysia terlihat mengalami kemajuan sebagai negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat sedunia, tapi ironisnya, jurang pemisah yang kaya dan yang miskin kian lebar saja.
Kemiskinan yang melanda dunia bukan sebuah kebetulan, melainkan disebabkan oleh sistem yang membuat perdagangan global menjadi tidak adil, dan adanya manipulasi serta eksploitasi ekonomi dari negara-negara donor, yang notabenenya adalah negara-negara kapitalis Barat. Karena itu, sungguh naif jika ada pemikiran bahwa ketidakseimbangan ekonomi dapat dipulihkan dengan menghapuskan seluruh utang, tanpa adanya upaya untuk mengevaluasi model ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab atas meningkatkanya krisis global ini.
Pertumbuhan kemiskinan, konflik, dan ketunaaksaraan, secara intrinsik terkait dengan budaya ketergantungan ekonomi yang berhasil ditanamkan oleh Barat ke negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga. Hal ini dilakukan dengan sejumlah langkah, seperti manipulasi mata uang, pemanfaatan pinjaman negara, dan legalisasi perusahaan multinasional yang menidakstabilkan dan menghancurkan aktivitas perekonomian negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga.
Ketergantungan Ekonomi
Lembaga-lembaga semacam International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan pemerintahan negara-negara Barat, sejak lama rajin meminjamkan uangnya ke negeri-negeri Muslim. Meskipun secara nominal berperan membantu pembangunan nasional, manfaat dari pinjaman itu hanya terasa dalam jangka pendek, dan selanjutnya malah mengakibatkan ketergantungan ekonomi terhadap lembaga-lembaga kreditur dan menggantungkan masa depan kepada bantuan internasional. Saat ini, 21 negeri Muslim diklasifikasikan oleh Bank Dunia sebagai negara berpendapatan rendah atau negara dengan catatan utang yang sangat parah. Berdasarkan indikator pertumbuhan, negara-negara yang “baik kinerjanya”, seperti Bangladesh, sangat tergantung pada bantuan asing sehingga mereka tetap dimasukkan oleh Bank Dunia ke dalam golongan negara-negara yang banyak utang. Utang-utang itu dibayar dengan tingkat suku bunga yang sangat memberatkan, yang melumpuhkan perekonomian, karena sebagian besar pendapatan negara dibelanjakan hanya untuk membayar utang luar negeri. Perkara ini dikemukakan dengan gamblang oleh Perdana Menteri Malaysia yang mengatakan, “Meskipun Jepang memberikan bantuan, tapi Jepang mengambil kembali dengan cara lain, seperti sihir, hampir dua kali lipat dari yang mereka berikan.” Sebagai contoh, total utang domestik dan luar negeri Pakistan mencapai 60 milyar dollar, dengan 50% anggaran negaranya dibelanjakan untuk membayar utang itu. Demikian pula dengan Mesir, yang 50% pendapatan tahunannya dan Tk 80 crore (Tk 800 juta) dari anggaran Bangladesh habis untuk membayar utang. Akibat dari utang itu sungguh parah, karena membuat negara bersangkutan terjerumus dalam lembah kemiskinan yang ekstrim.
Pinjaman IMF dan Bank Dunia tidak tanpa syarat. Pinjaman itu diberikan dalam kesepakatan yang mencakup sejumlah konsesi/kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan asing, seperti keringanan pajak selama 15 tahun dan dibebaskan dari keharusan membayar bea ekspor, sehingga tercipta “lingkungan yang kondusif bagi investasi”. Persyaratan ini membuat perusahaan-perusahaan asing memiliki keunggulan secara tidak adil dibandingkan perusahaan-perusahaan lokal, menghambat persaingan usaha dan membuat perusahaan lokal bangkrut. Persyaratan lain menuntut negara-negara debitur untuk mengurangi anggaran kesehatan dengan memberlakukan tarif bagi para pengguna layanan medis, dan memprivatisasi fasilitas-fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, guna memastikan bahwa pembayaran utang mendapat prioritas utama.
Kurangnya anggaran untuk fasilitas-fasilitas layanan dasar juga merupakan masalah tersendiri dan dapat menimbulkan efek merusak bagi kondisi kesehatan suatu negara. Sebagai contoh, banyak penyakit yang ditemui di Dunia Islam terkait dengan buruknya persediaan air, buruknya sanitasi dan pola hidup yang tidak aman secara medis, termasuk: kolera, tipoid, hepatitis, disentri, dan polio.
Persyaratan lain yang tak kalah berbahaya ialah tuntutan “pemerintahan yang lebih baik”, atau “reformasi ekonomi”, yang biasanya berarti liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan mengurangi hambatan dagang untuk barang-barang dari luar negeri. Privatisasi membuka pasar terhadap masuknya perusahaan-perusahaan asing yang berujung pada penguasaan barang publik seperti minyak dan gas. Kelak hal ini akan mengurangi secara drastis kontrol pemerintah atas sumber dayanya sendiri. Lagi-lagi ini akan menimbulkan dampak buruk terhadap perusahaan-perusahaan setempat yang tidak mampu bersaing di dalam pasar yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, sehingga mereka semakin tergantung pada bantuan luar negeri. Pasar dalam negeri semakin terdesak oleh klausul-klausul tidak adil yang diberlakukan oleh World Trade Organisation (WTO), seperti syarat pengurangan utang atau bantuan. Sebagai contoh, WTO seringkali mendesak negara-negara Dunia Ketiga untuk menyepakati ketentuan untuk tidak memberlakukan tarif impor atas produk luar negeri. Ini berarti negara-negara tersebut tidak dapat melindungi pasar internal mereka sehingga pasokan produk agrikultur murah (karena disubsidi) dari Barat bisa melimpah, dan pada gilirannya akan menghancurkan kehidupan para petani setempat.
Ekspor dan Mata Uang
Salah satu syarat pembayaran utang ialah bahwa negara-negara debitur harus meningkatkan ekspor mereka. Akan tetapi, tidak seperti negara-negara Barat, yang mereka ekspor umumnya bukanlah barang-barang khusus dan karena itu hanya memberi marjin laba yang sedikit. Bangladesh, misalnya, kebanyakan mengekspor bahan tekstil dan garmen, rami dan produk rami, ikan beku dan makanan laut. Sebaliknya, barang-barang yang diekspor oleh Barat kebanyakan mesin-mesin industri dan senjata, produk yang sangat menguntungkan. Barat juga berkonsentrasi menjual produk akhir yang bisa langsung dikonsumsi oleh masyarakat, seperti coklat atau kopi, tapi tidak menjual alat-alat produksi, sehingga meningkatkan ketergantungan ekonomi negara-negara lain terhadap Barat.
Negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan dan negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika tidak mampu membuat investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang-barang yang lebih menguntungkan, karena sebagian besar dari pendapatan tahunan mereka habis untuk membayar utang. Karena itu, utang merupakan salah satu instrumen efisien yang menjamin akses murah terhadap bahan mentah negara lain. Untuk menjamin hal ini, lembaga-lembaga semacam IMF memastikan bahwa mereka (IMF) memiliki kemampuan untuk memanipulasi mata uang negara-negara pengekspor agar mereka dapat membeli barang-barang pada tingkat harga yang mereka inginkan. Sebagai contoh, keputusan Bangladesh untuk mengambangkan mata uangnya terhadap pasar asing pada tanggal 1 Juni 2003 merupakan hasil desakan IMF. Mereka menolak memberikan bantuan darurat ketika cadangan devisa Bangladesh di bawah 1 milyar dollar, kecuali jika Bangladesh mau mengambangkan mata uangnya. Dengan begitu, yang mengendalikan taka (mata uang Bangladesh) sebenarnya ialah negara-negara Barat, bukan Bangladesh Bank, sesuai dengan keinginan mereka.
Manipulasi atas mata uang Bangladesh membuat negara-negara asing dapat membeli bahan-bahan mentah, bahkan membeli perusahaan industri, dengan harga murah. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar bisa masuk ke perekonomian setempat dan mendominasinya dengan produk-produk asing mereka. Devaluasi taka membuat tingkat inflasi naik sehingga nilai riil uang menurun, dan ini menyebabkan naiknya harga-harga kebutuhan dasar seperti roti dan ikan, dan turunya tingkat nilai riil upah.
Peran Penguasa dalam Beban Ekonomi Ketergantungan
Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu alasan utama mengapa negeri-negeri Muslim hanya mengalami sedikit pertumbuhan ekonomi, atau tidak mampu keluar dari cengkeraman ekonomi ketergantungan. Selain karena adanya faktor uang dalam jumlah banyak, kesengsaraan rakyat diperparah oleh pemerintah yang tidak memiliki itikad politik untuk mengubah sistem yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan itu. Meskipun sebagian negeri Muslim menghadapi masalah ekonomi yang akut, padahal mereka kaya dengan minyak, tapi para penguasanya hampir tidak melakukan apapun untuk mengembangkan perekonomian negara mereka, dengan membangun konglomerasi multinasional atau menyewa tenaga ahli untuk belajar membuat alat-alat produksi agar bisa membangun perekonomian yang mandiri.
Bahkan, para penguasa di negeri-negeri yang kaya sumber daya alam itu seharusnya bisa merancang kebijakan swasembada untuk memperkuat perekonomian nasional mereka dan membuat mereka mampu berdiri sendiri. Yang terjadi malah para penguasa itu berusaha meningkatkan ketergantungan ekonomi negaranya. Pada akhir tahun 1990-an, Perdana Menteri Bangladesh, Syeikh Hassina, setelah penemuan cadangan gas yang melimpah di daerah Sylhet dan Teluk Bengal, serta merta memberikan kontrak konsesi gas kepada perusahaan-perusahaan AS dan asing lain seperti UNOCAL. Dan tahun lalu, pemerintah di sana menandatangani ‘nota kesepahaman’ pipa saluran gas tiga negara ‘Myanmar-Dhaka-India’, yang kian memperlemah posisi ekonomi negara tersebut. Demikian pula Pakistan, di bawah pimpinan Musharraf, telah memprivatisasi perusahaan-perusahaan listrik dan gas seperti WAPDA, dan mengalihkan kepemilikannya ke perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di AS dan Eropa. Ini sangat membahayakan perekonomian mereka, karena uang yang sangat dibutuhkan untuk memutar perekonomian Pakistan kini disedot dan dialirkan ke perekonomian negara-negara Barat.
Mengganti penguasa yang ada sekarang tidak akan menghasilkan perubahan ekonomi di negeri-negeri Muslim, atau menghentikan siklus ketergantungan yang sudah kadung mengakar. Masalahnya jauh lebih dalam dari itu, dan itu lebih diakibatkan oleh dianutnya sistem ekonomi Kapitalisme; sebuah sistem yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia secara merata sehingga mengakibatkan kemiskinan merajalela. Ini terkait dengan bagaimana Kapitalisme memandang masalah ekonomi. Kapitalisme memandang masalah ekonomi sebagai ‘adanya kelangkaan sumber daya dan tidak terbatasnya kebutuhan’. Jadi, Kapitalisme berusaha mengatasi masalah ekonomi dengan memaksimalkan produksi guna menghasilkan kekayaan, yang selanjutnya akan memenuhi sebagian besar, jika tidak semua, kebutuhan manusia. Kapitalisme memiliki premis bahwa kebutuhan setiap individu tidak dapat dipenuhi, dan karena itu kemiskinan akan selalu ada berbarengan dengan kekayaan. Dengan demikian, masalah kemiskinan, ketunawismaan, dan kelaparan akan selalu menjadi ancaman laten bagi setiap masyarakat Kapitalis. Karena itu, kemiskinan bukanlah karakter negeri-negeri Muslim dan Dunia Ketiga saja, melainkan juga karakter negara-negara Barat.
Kemiskinan, ketunawismaan, penyakit dan kelaparan yang melanda Dunia Islam adalah sebagian buah dari ketergantungan ekonomi terhadap Barat dan lembaga-lembaganya. Keringanan utang, pinjaman baru, atau menambal sulam sebagian dari sistem ekonomi yang ada sekarang ini tidak akan menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh tatanan kapitalis global yang akan terus berlanjut, selama kaum Muslim masih dipimpin oleh para penguasa dan politisi yang tidak mampu melihat visi ekonomi negara-negara Barat.
Sikap menyerah dan tidak mandiri telah mempengaruhi para penguasa itu sehingga mereka lebih suka membebek daripada memimpin. Mereka tidak merasa malu dengan menjadi budak impoten yang menghamba terhadap majikan-majikan mereka, dan mereka secara sadar menghambat seruan-seruan menuju kemandirian ekonomi. Untuk bisa bebas dari siklus ketergantungan ekonomi ini, Dunia Islam harus bersatu sebagai satu kesatuan negara, untuk membentuk blok kuat yang mandiri di bawah kepemimpinan seorang penguasa yang dibimbing oleh visi yang berbeda, dan memiliki keberanian untuk membuat sistem yang mandiri dari kerangka sistem Barat yang ada sekarang.
Bagaimana Negara Khilafah akan bisa menghilangkan kemiskinan?
Islam memandang kemiskinan dari kacamata berbeda tetapi masih berkaitan dengan yang sedang diketengahkan oleh dunia berkembang, dan pada waktu bersamaan mempunyai sejumlah peraturan yang bisa menghilangkan kemiskinan. Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang. Islam membagi kebutuhan tersebut ke dalam tiga hal: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dalam hal ini Islam berbeda dengan kapitalisme karena Islam melihat kemiskinan sebagai suatu prinsip yang konsisten dan tetap. Tidak seperti definisi di dunia berkembang, dimana kemiskinan dilihat dari sudut pandang yang sempit. Mereka melihat kemiskinan sebagai sebuah hubungan relatif antara GDP dengan kebutuhan masyarakat. Ini berarti, tidak bisa memenuhi barang mewah di Inggris bisa dianggap miskin, tetapi tidak di Sudan. Dengan definisi ini, sebuah kenyataan jika seseorang berada dalam kemiskinan, kemudian mendadak sontak bisa berubah ‘menjadi kaya’ hanya karena adanya kenaikan pada kekayaan negara, sementara hakekatnya tidak ada satupun yang berubah pada diri orang tersebut. Masalah krusial yang terjadi adalah tidak mungkin bisa mengembangkan kebijakan pemerintah dalam sebuah dasar dimana orang yang berada dalam kemiskinan bisa terus berubah.
Islam juga mengenal kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti keamanan dan pendidikan, dan hal ini menjadi salah satu prioritas dari negara, sesuai tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan pokok sebanyak apapun itu.
Negara Khilafah akan membuat semua kelengkapan kepemilikan umum yang diperlukan sebagai sebuah kebijakan. Islam menetapkan tiga jenis kepemilikan; negara, umum, dan pribadi. Hal tersebut menandakan bahwa setiap keperluan yang dianggap tidak tergantikan bagi masyarakat sebagai properti publik, seperti jika ketidaksediaannya akan membuat orang-orang mencarinya secara luas dan jauh. Kemudian hal tersebut akan dimiliki secara publik, dan keuntungan yang dihasilkannya akan diatur bagi kepentingan seluruh penduduknya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
“Umat Muslim itu berserikat dalam tiga hal: (yaitu) air, padang rumput dan api”.
Meskipun hadits tersebut hanya menyebutkan tiga hal, kita bisa menerapkan qiyas (analogi) dan memperluas bukti untuk menutupi semua contoh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak tergantikan. Seperti sumber air, hutan sebagai sumber kayu, ladang minyak, pembangkit listrik, jalan raya, sungai, lautan, danau, kanal umum, teluk, selat, bendungan dan lain-lain, tidak bisa dimiliki oleh perorangan. Tentu saja Islam akan mengijinkan kepemilikan jika hal tersebut tidak terlalu penting bagi masyarakat. Solusi ini akan membawa efek yang unik, karena hal tersebut akan memastikan setiap orang mendapatkan ketentuan yang mendasar untuk hidup, dan tidak berada di bawah monopoli atau harga-harga yang tinggi. Jika negara telah memperoleh pendapatan yang tersedia dan telah memenuhi kebutuhan masa depan yang telah direncanakan maka tidak perlu memberlakukan pajak. Zakat, sebuah pilar agama Islam yang konstan tetapi bukan berupa pajak, lebih berupa sebuah tunjangan sosial yang ditujukan bagi kategori orang-orang tertentu. Hal ini berarti umat Muslim bisa berkata bahwa mereka tidak akan lagi berkata bahwa ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan; (yaitu) kematian dan pajak.
Masalah kemiskinan bukanlah masalah dalam produksi, melainkan juga masalah distribusi produk agrikultur dalam ekonomi. Meskipun dorongan pasar akan memastikan hal itu terjadi, tetapi Negara Khilafah akan mengatur distribusi produk-produk agrikultur. Hal ini bisa dicapai dengan satu jenis kebijakan. Sebagai contoh, adalah umum jika sebuah tanah kosong yang digarap oleh seseorang, maka ia akan menjadi pemilik lahan tersebut. Hal ini berasal dari hadits Nabi Muhammad saw:
“Barang siapa yang mengolah sebuah tanah yang tidak dimiliki siapapun, maka ia lebih pantas mendapatkannya.”
Peraturan ini sangat potensial mengubah tatanan agrikultural di negeri-negeri Muslim secara fundamental. Di negara-negara Arab, terdapat air yang melimpah dan lahan yang sangat subur, tetapi lahan tersebut telah ditinggalkan karena orang-orang pindah ke ibu kota dan meninggalkan sebagian besar desa tersebut tidak berpenghuni. Salah satu aturan dalam Islam yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak mampu secara finansial tidak bisa membiayai dirinya sendiri dan juga tidak bisa didukung oleh keluarganya maka ia berada dalam layanan finansial Khilafah. Akan tetapi, daripada mengeluarkan pemberian upah berupa keuntungan untuk menyokong masyarakat, Islam lebih condong menyediakan mereka dengan peralatan untuk mencari kekayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak lahan pertanian ini yang akan diberikan pada orang-orang yang tidak mampu sehingga mereka bisa menyediakan kebutuhan pangan negaranya.
Kebijakan Pertanian
Kebijakan Negara Khilafah dalam bidang pertanian harus berkisar mencapai hal-hal sebagai berikut:
Meningkatkan produksi makanan, termasuk mengembangkan teknik permesinan dan agraris terbaru.
Meningkatkan produktivitas pada bahan-bahan pakaian seperti kapas, wol dan sutera, hal ini untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harus dimiliki tanpa terpaksa harus mengimpor.
Meningkatkan produksi barang-barang yang mempunyai pasaran luas, baik itu produk tekstil atau makanan seperti buah jeruk, kurma dan lain-lain.
Negara Khilafah perlu medorong para petani, khususnya mereka yang kemampuannya telah terbukti, untuk menyebarkan kemampuan ini, khususnya dalam metode pertanian pada kaum Muslim yang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Para petani Turki adalah yang paling trampil di dunia, sementara para petani Pakistan adalah petani yang teknologinya paling maju. Dorongan bisa datang berupa bantuan lahan pertanian yang luas ataupun berupa bantuan finansial secara langsung.
Negara Khilafah harus masuk dalam pasar sebagai pemasok dalam penyediaan barang dan pembeli produk-produk pertanian, dengan tujuan untuk mengatur produksi pertanian dan menjaga para produsen pertanian dari fluktuasi pasar dan melawan pengaruh kondisi alam dan cuaca.
Negara Khilafah harus mempunyai kontrol atas area produksi untuk alasan kualitas, dan untuk menanggulangi masalah-masalah kelebihan kapasitas dalam sektor-sektor agrikultur yang kurang penting.
Negara Khilafah dalam prioritasnya harus menginvestasikan banyak uang yang dibutuhkan dalam kebijakan agrikultur umum karena dua hal mendasar. Satu, hal ini adalah kebutuhan yang paling pokok dalam taraf awal Khilafah. Hanya perkembangan industri pertahanan dan konsumsi industri gas dan minyak yang harus ditekankan dalam agenda Khilafah. Dua, agrikultur juga, Insya Allah, akan menjadi sumber terbesar pekerjaan yang kemudian menyediakan lapangan kerja dan lebih banyak memutar kekayaan dalam perekonomian.
Dengan demikian Negara Khilafah harus berinvestasi dalam peralatan/permesinan dan teknik agrikultur terbaru. Perlu dicatat bahwa Korea Utara mempunyai kebijakan agrikultur yang jelas di masa lalu dan berkembang setelah Perang Dunia II dalam tiga tahapan dengan cara-cara komunis. Akan tetapi, Korea Utara menyadari bahwa ketika mereka mencoba untuk mengekspor peralatan mereka, pasar Eropa dan Amerika telah tertutup bagi mereka karena tujuan-tujuan proteksi. Negara Khilafah harus membuat persyaratan perdagangan yang menarik sehingga kita bisa mendapatkan peralatan pertanian Korea Utara dan juga mendapatkan keuntungan dari teknik-teknik pertanian mereka.
Distribusi Kekayaan
Alasan yang menggarisbawahi mengapa kemiskinan terjadi di Dunia Islam adalah karena penerapan sejumlah ide-ide kapitalis yang membatasi dengan ketat perputaran kekayaan. Negara Khilafah akan segera menghilangkan semua kesenangan sistem kapitalis dan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Jika orang telah meneliti efek peraturan itu maka jelas sudah bahwa kemiskinan akan hilang.
Islam tidak mempunyai konsep penerimaan pajak, atau pajak pertambahan nilai, atau bea pajak, ataupun kontribusi asuransi nasional, dan yang lainnya. Tetapi Islam menempatkan kewajiban perpajakan pada kekayaan, dan bukan pada pendapatan. Efek hal tersebut dalam perekonomian sangatlah besar. Contohnya, rata-rata gaji di Inggris adalah 24.000 poundsterling. Pada kisaran tersebut beban pajak bersama dengan kontribusi pajak nasional jatuh ke 30%. Bersamaan dengan pajak tak langsung (pajak dalam pengeluaran daripada pendapatan) seperti halnya juga pajak dewan, pajak jalan dan lain-lain, berarti beban bersih pajak jatuh pada kisaran 40-50%. Hal tersebut berarti rata-rata perorang di Inggris kehilangan 10 ribu sampai 12 ribu pounsterling karena pajak.
Dalam Negara Khilafah, secara sederhana, pajak kekayaan berada dalam kisaran 2.5%. Hal ini berarti dalam setahun, orang yang berpendapatan menengah bisa menghemat 10 ribu pounds. Sehingga dua atau tiga orang bisa masuk dalam sebuah kontrak bisnis seperti mudharabah untuk mengirim beberapa permintaan untuk pelanggan dan barang-barang industri, selain menciptakan lapangan kerja lain dalam perekonomian.
Pertimbangkan juga pembatalan tingkat suku bunga.
Dalam perekonomian Barat, semua model ekonomi didasarkan pada tingkat suku bunga, dari keputusan investasi, konsumsi, tabungan, sampai pinjaman keuangan, pembelian rumah dan lainnya.
Efek dari hal tersebut adalah pengeluaran dan investasi yang tidak seimbang dan natural. Sebagai contohnya, seseorang dengan kemampuan ekonomi menengah yang membeli sebuah rumah kemudian terjebak dalam hipotik dan membayar sejumlah bunga yang mengikat selama 25-30 tahun. Hal tersebut diiringi dengan pembayaran pinjaman untuk mobil dan barang mahal lainnya yang mengikis habis pendapatan masyarakat. Akan tetapi, meskipun setelah biaya pajak, dan biaya pembayaran bunga, orang-orang masih mempunyai beberapa pendapatan yang bisa dibuang. Kemudian masalahnya adalah investasi; sesungguhnya sederhana bahwa orang-orang tidak akan berinvestasi bila rata-rata keuntungan sebuah bisnis seimbang dengan risiko kerjasama, dan bisa didapat dari bunga dengan menyimpan uang di bank untuk menambah bunga. Dengan kata lain, tingkat suku bunga membatasi investasi, dan oleh karena itu bunga menjadi rintangan dalam penyaluran kekayaan.
Selain mengatur masalah kekayaan publik, Islam juga bersandar pada sejumlah peraturan untuk memastikan kekayaan terus berputar dan menghukum -pada beberapa kasus memberlakukan pungutan- pada mereka yang menimbun kekayaan mereka. Hal ini sangat penting karena menimbun uang dan menyimpan kekayaan dalam sebuah akun untuk mendapatkan bunga bahkan akan mengakibatkan uang tidak tersirkulasi. Islam mempunyai sekumpulan aturan yang melarang penimbunan kekayaan dan mendorong pengeluaran yang memastikan distribusi kekayaan. Islam juga mempunyai pajak tanah kharaj, dimana pungutan ditentukan oleh kualitas lahan, dan ‘usyur, yang merupakan pungutan hasil dari lahan tersebut. Islam memperbolehkan pengambilalihan lahan jika lahan tersebut tidak dipakai selama tiga tahun. Peraturan ini akan sangat efektif untuk mengakhiri monopoli beberapa keluarga di dunia ketiga yang memiliki lahan yang luas dari peninggalan penjajah, kecuali lahan tersebut dipakai secara produktif yang akan membantu perputaran kekayaan.
Dalam Islam, dorongan untuk tidak berbelanja itu tidak ada, bunga itu terlarang, dan menimbun itu dikenakan pungutan. Tidak mempunyai bunga artinya tidak ada dorongan untuk menyimpan uang di bank, karena hal itu tidak akan menambah bunga, tetapi tetap dikenakan pungutan jika disimpan selama satu tahun. Dengan tidak mempunyai pajak dalam pendapatan ataupun pendapatan, sebuah proporsi pendapatan untuk pengeluaran yang lebih besar bisa bebas diinvestasikan pada barang-barang fisik, aset-aset dan berbagai peralatan, yang berimbas pada penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan setiap permintaan dalam perekonomian. Kertas-kertas berharga seperti saham, obligasi dan surat utang sebagai bentuk komoditas, tidak terdapat dalam Islam. Satu-satunya bentuk investasi adalah dalam hal-hal/barang yang kongkrit yang memastikan perekonomian terus memutar kekayaan.
Ini adalah sebuah kumpulan kebijakan umum yang harus diikuti oleh Negara Khilafah untuk menarik Dunia Islam keluar dari kemiskinan. Sistem ini kemudian harus diperkenalkan pada negara-negara Afrika dan Amerika Latin yang selama berdekade-dekade telah tenggelam dalam kemiskinan karena cengkeraman Amerika Serikat, IMF dan Bank Dunia. Sistem ini juga kemudian harus menjadi bagian dari agenda global ketika konferensi dan perayaan seperti halnya target milenium dibicarakan. Harus dicatat bahwa banyak kebijakan yang diperkenalkan target kemiskinan dunia berasal dari dasar yang sama dimana masalah-masalah tersebut berasal.
Dunia Islam telah dianugerahi dengan tanah yang subur, air dan barang tambang, yang jika dimanfaatkan dengan baik akan menyelesaikan masalah kemiskinan dengan mudah di Dunia Islam. Sesuatu yang juga harus jelas adalah bahwa produksi barang-barang agrikultur belaka bukanlah solusi dari kemiskinan, masalahnya terletak pada penyalurannya. Turki adalah satu contoh yang bagus dimana 20% dari 70 juta penduduknya berada dalam kemiskinan meskipun mereka adalah salah satu pemimpin terbesar penghasil pertanian. Per Maret 2007, Turki adalah penghasil terbesar hazelnut, ara, apricot, cerry, quince, dan pomegranate; penghasil terbesar kedua semangka, ketimun dan kacang; penghasil ketiga terbesar tomat, terung, cabai hijau, dan miju-miju; penghasil bawang dan zaitun terbesar keempat; penghasil gula tebu terbesar kelima; penghasil tembakau, teh dan apel terbesar keenam; penghasil kapas dan gandum ketujuh terbesar; penghasil almon ke delapan terbesar; penghasil terbesar gandum, gandum hitam, dan jeruk besar kesembilan, dan penghasil terbesar kesepuluh lemon.
Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis dalam hal landasan maupun rinciannya. Berbeda dengan perspektif fundamental Kapitalis yang menganggap sumber daya yang ada di dunia ini terbatas, Islam memandang bahwa bumi ini sangat kaya dengan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh umat manusia. Syariat Islam memberikan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar warganegara ini kepada Negara Khilafah.
sumber: https://www.facebook.com/notes/hidup-sejahtera-di-bawah-naungan-khilafah/khilafah-membuat-kemiskinan-tinggal-jadi-sejarah/163107400414470
Jumat, 15 April 2011
Anggota DPR ‘Liburan’ ke AS Hingga Prancis Telan Rp 4,5 M
Menurut siaran pers dari Kordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi, Kamis (14/4/2011), kunjungan anggota DPR ke luar negeri dimulai Rabu (13/4) kemarin. Anggota Komisi I DPR melawat ke empat negara selama masa reses yaitu ke Amerika, Turki, Rusia, dan Prancis.
FITRA merilis anggaran yang digunakan untuk pelesiran tersebut sebesar Rp 4,5 miliar. Dengan rincian untuk kunjungan ke Amerika Serikat Rp 1,4 miliar, ke Turki Rp 878 juta, ke Rusia 1,2 miliar, dan ke Prancis Rp 944 juta. Data tersebut diperoleh Fitra dari DIPA DPR dan RK DPR tahun 2011.
Kunjungan anggota DPR selama reses ini dipandang Fitra sebagai pemborosan. Seharusnya anggaran ini digunakan untuk kepentingan program rakyat miskin.
“Kunjungan pelesiran ke luar negeri telah menghambur-hamburkan pajak publik sebesar Rp 4,5 miliar. Hanya dengan waktu satu bulan saja, anggota DPR telah menghabiskan pajak publik sebesar Rp 4,5 miliar. Padahal publik memberikan pajak kepada negara, harus mengumpulkan duit dulu selama satu tahun, baru bisa membayar pajak kepada negara,” protes Ucok.
Kalau anggaran tersebut digunakan untuk rakyat miskin, Ucok menuturkan, DPR telah menyelamatkan 98 anak yang tidak mampu sekolah untuk mendapatkan beasiswa dari SD sampai ke perguruan tinggi.
“Seharus anggota DPR bukan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, selama reses seharusnya anggota DPR mengunjungi konstituen mereka di daerah pemilihan (dapil) masing-masing daripada hanya jalan-jalan ke luar negeri. Dan hal ini menandakan bahwa anggota Dewan sudah lepas diri dari tanggung jawab kepada konstituen,” kecamnya. (detiknews.com, 14/4/2011)
Pelarangan Burqa, Bukti Demokrasi Hanya Dukung Prilaku Buruk
Pemerintah Perancis menyatakan pelarangan burqa dalam rangka menjaga keutuhan, penyatuan, integrasi, atau kohesifitas kehidupan masyarakat Perancis yang beragam. Juga menjaga derajat perempuan dari penindasan. Benarkah? Lantas apa motif sesungguhnya? Dan benarkah mengenakan burqa perempuan menjadi tertintdas? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Apa motif sesungguhnya dari larangan mengenakan burqa di Perancis?
Ketakutan Perancis terhadap semakin besarnya geliat penerapan Islam di negara sekuler tersebut. Semangat kaum Muslim ini bisa berubah menjadi ancaman bagi eksistensi sekularisme dan kapitalisme.
Saat ini ada sekitar 5 juta populasi Muslim di sana, dan semakin marak trend menjaga pelaksanaan syariat Islam. Banyak restoran berdiri menyediakan hanya makanan halal, tempat pembelian daging halal, shalat Jumat yang jamaahnya tumpah ruah hingga ke jalan-jalan karena masjid tak lagi menampung dan juga lebih dari 2000 perempuan memakai burqa.
Semua menunjukkan semakin kuatnya ketaatan agama warga Muslim di sana. Jadi sekalipun kebebasan dan sekularisme disuntikkan setiap saat, namun gagal memberangus kebenaran Islam yang diemban setiap Muslim.
Benarkah burqa membelenggu perempuan?
Jelas ini pandangan yang tidak didukung argumentasi logis. Apa ukurannya untuk menyebut burqa membelenggu perempuan?
Perempuan Muslimah di Perancis bahkan sudah banyak yang menyampaikan testimoninya ke media-media internasional bahwa mereka mengenakan burqa adalah pilihan pribadinya yang lahir dari kesadaran dan ketaatan. Sama sekali tidak ada paksaan dari orangtua maupun suaminya, tidak ada tekanan dari organisasi atau masjid mana pun.
Mereka juga tidak merasakan kesulitan apa pun dalam beraktifitas dan menjalankan bisnis dengan pakaian Muslimah dan burqanya. Lalu dimana letak penindasannya?
Justru dengan larangan burqa dan sanksi tegas yang mulai diberlakukan minggu ini, saudara-saudara kita Muslimah di sana, yang taat pada agamanya, menjadi tertindas, terbelenggu dan kehilangan kebebasannya.
Mereka juga tidak mendapatkan keadilan di negara yang konon mengagungkan kebebasan, keadilan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).
Perancis adalah negara sekuler, jadi wajar melarang?
Perancis telah gagal meyakinkan warganegaranya bahwa demokrasi dan sekularisme adalah nilai-nilai terbaik bagi kehidupan. Ide sesat ini dikampanyekan seolah-olah menjamin kebebasan beragama, bertingkah laku, berkepemilikan dan berpendapat.
Jika konsisten dengan faham sekularismenya, justru seharusnya Perancis memberi kebebasan warganegara; tidak melarang burqa sebagaimana memberi kebebasan berpakaian minim, dan seterusnya.
Namun ketika menyangkut ketaatan terhadap agama Islam, nampak jelas pemerintah Perancis tidak lagi bisa konsisten, karena Perancis juga menyimpan bukti sejarah yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam matinya kapitalisme sekuler.
Apa yang dilakukan oleh Perancis hari ini pasti akan segera diikuti oleh negara-negara Barat lain dan bisa jadi dengan tekanan dan penindasan lebih besar. Ingatlah firman Allah
“…telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi…” [TQS Ali-Imran (3):118]
Bagaimana seharusnya sikap umat Islam?
Seharusnya umat Islam di seluruh dunia menyadari dua hal.
Pertama satu lagi bukti bahwa demokrasi , liberalisme dan sekularisme hanyalah ide sesat yang dikemas manis dijajakan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ide-ide ini hanya berlaku untuk mendukung perilaku buruk manusia yang ingin mengambil keuntungan dari pornografi dan pornoaksi yang melecehkan perempuan namun tidak berlaku untuk mendukung perempuan Muslimah yang taat pada aturan Penciptanya.
Maka jangan lagi ragu untuk segera meninggalkan demokrasi, dan ide-ide kapitalisme lainnya.
Kedua, Umat Islam membutuhkan institusi politik, negara, yang mampu mengayomi pelaksanaan syaariat secara sempurna. Tanpa adanya negara yang menerapkan syariat secara sempurna yakni Khilafah Islam, musuh-musuh Islam dengan mudah merampas hak-hak kaum Muslim untuk taat pada perintah Allah.
Dan kita membutuhkan Khilafah Islamiyah itu sekarang, bukan nanti, karena masalah umat Islam hari ini bukan hanya pelarangan burqa namun juga pembantaian oleh rezim antek barat, pendudukan Israel dan AS, penghisapan kekayaan alam, dan berbagai penyesatan pemikiran yang merusak generasi. Maka segeralah berjuang untuk tegaknya Khilafah Islam. []mediaumat.com
Pelarangan Burqa, Bukti Demokrasi Hanya Dukung Prilaku Buruk
Pemerintah Perancis menyatakan pelarangan burqa dalam rangka menjaga keutuhan, penyatuan, integrasi, atau kohesifitas kehidupan masyarakat Perancis yang beragam. Juga menjaga derajat perempuan dari penindasan. Benarkah? Lantas apa motif sesungguhnya? Dan benarkah mengenakan burqa perempuan menjadi tertintdas? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Apa motif sesungguhnya dari larangan mengenakan burqa di Perancis?
Ketakutan Perancis terhadap semakin besarnya geliat penerapan Islam di negara sekuler tersebut. Semangat kaum Muslim ini bisa berubah menjadi ancaman bagi eksistensi sekularisme dan kapitalisme.
Saat ini ada sekitar 5 juta populasi Muslim di sana, dan semakin marak trend menjaga pelaksanaan syariat Islam. Banyak restoran berdiri menyediakan hanya makanan halal, tempat pembelian daging halal, shalat Jumat yang jamaahnya tumpah ruah hingga ke jalan-jalan karena masjid tak lagi menampung dan juga lebih dari 2000 perempuan memakai burqa.
Semua menunjukkan semakin kuatnya ketaatan agama warga Muslim di sana. Jadi sekalipun kebebasan dan sekularisme disuntikkan setiap saat, namun gagal memberangus kebenaran Islam yang diemban setiap Muslim.
Benarkah burqa membelenggu perempuan?
Jelas ini pandangan yang tidak didukung argumentasi logis. Apa ukurannya untuk menyebut burqa membelenggu perempuan?
Perempuan Muslimah di Perancis bahkan sudah banyak yang menyampaikan testimoninya ke media-media internasional bahwa mereka mengenakan burqa adalah pilihan pribadinya yang lahir dari kesadaran dan ketaatan. Sama sekali tidak ada paksaan dari orangtua maupun suaminya, tidak ada tekanan dari organisasi atau masjid mana pun.
Mereka juga tidak merasakan kesulitan apa pun dalam beraktifitas dan menjalankan bisnis dengan pakaian Muslimah dan burqanya. Lalu dimana letak penindasannya?
Justru dengan larangan burqa dan sanksi tegas yang mulai diberlakukan minggu ini, saudara-saudara kita Muslimah di sana, yang taat pada agamanya, menjadi tertindas, terbelenggu dan kehilangan kebebasannya.
Mereka juga tidak mendapatkan keadilan di negara yang konon mengagungkan kebebasan, keadilan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).
Perancis adalah negara sekuler, jadi wajar melarang?
Perancis telah gagal meyakinkan warganegaranya bahwa demokrasi dan sekularisme adalah nilai-nilai terbaik bagi kehidupan. Ide sesat ini dikampanyekan seolah-olah menjamin kebebasan beragama, bertingkah laku, berkepemilikan dan berpendapat.
Jika konsisten dengan faham sekularismenya, justru seharusnya Perancis memberi kebebasan warganegara; tidak melarang burqa sebagaimana memberi kebebasan berpakaian minim, dan seterusnya.
Namun ketika menyangkut ketaatan terhadap agama Islam, nampak jelas pemerintah Perancis tidak lagi bisa konsisten, karena Perancis juga menyimpan bukti sejarah yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam matinya kapitalisme sekuler.
Apa yang dilakukan oleh Perancis hari ini pasti akan segera diikuti oleh negara-negara Barat lain dan bisa jadi dengan tekanan dan penindasan lebih besar. Ingatlah firman Allah
“…telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi…” [TQS Ali-Imran (3):118]
Bagaimana seharusnya sikap umat Islam?
Seharusnya umat Islam di seluruh dunia menyadari dua hal.
Pertama satu lagi bukti bahwa demokrasi , liberalisme dan sekularisme hanyalah ide sesat yang dikemas manis dijajakan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ide-ide ini hanya berlaku untuk mendukung perilaku buruk manusia yang ingin mengambil keuntungan dari pornografi dan pornoaksi yang melecehkan perempuan namun tidak berlaku untuk mendukung perempuan Muslimah yang taat pada aturan Penciptanya.
Maka jangan lagi ragu untuk segera meninggalkan demokrasi, dan ide-ide kapitalisme lainnya.
Kedua, Umat Islam membutuhkan institusi politik, negara, yang mampu mengayomi pelaksanaan syaariat secara sempurna. Tanpa adanya negara yang menerapkan syariat secara sempurna yakni Khilafah Islam, musuh-musuh Islam dengan mudah merampas hak-hak kaum Muslim untuk taat pada perintah Allah.
Dan kita membutuhkan Khilafah Islamiyah itu sekarang, bukan nanti, karena masalah umat Islam hari ini bukan hanya pelarangan burqa namun juga pembantaian oleh rezim antek barat, pendudukan Israel dan AS, penghisapan kekayaan alam, dan berbagai penyesatan pemikiran yang merusak generasi. Maka segeralah berjuang untuk tegaknya Khilafah Islam. []mediaumat.com
Pelarangan Burqa, Bukti Demokrasi Hanya Dukung Prilaku Buruk
Pemerintah Perancis menyatakan pelarangan burqa dalam rangka menjaga keutuhan, penyatuan, integrasi, atau kohesifitas kehidupan masyarakat Perancis yang beragam. Juga menjaga derajat perempuan dari penindasan. Benarkah? Lantas apa motif sesungguhnya? Dan benarkah mengenakan burqa perempuan menjadi tertintdas? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Apa motif sesungguhnya dari larangan mengenakan burqa di Perancis?
Ketakutan Perancis terhadap semakin besarnya geliat penerapan Islam di negara sekuler tersebut. Semangat kaum Muslim ini bisa berubah menjadi ancaman bagi eksistensi sekularisme dan kapitalisme.
Saat ini ada sekitar 5 juta populasi Muslim di sana, dan semakin marak trend menjaga pelaksanaan syariat Islam. Banyak restoran berdiri menyediakan hanya makanan halal, tempat pembelian daging halal, shalat Jumat yang jamaahnya tumpah ruah hingga ke jalan-jalan karena masjid tak lagi menampung dan juga lebih dari 2000 perempuan memakai burqa.
Semua menunjukkan semakin kuatnya ketaatan agama warga Muslim di sana. Jadi sekalipun kebebasan dan sekularisme disuntikkan setiap saat, namun gagal memberangus kebenaran Islam yang diemban setiap Muslim.
Benarkah burqa membelenggu perempuan?
Jelas ini pandangan yang tidak didukung argumentasi logis. Apa ukurannya untuk menyebut burqa membelenggu perempuan?
Perempuan Muslimah di Perancis bahkan sudah banyak yang menyampaikan testimoninya ke media-media internasional bahwa mereka mengenakan burqa adalah pilihan pribadinya yang lahir dari kesadaran dan ketaatan. Sama sekali tidak ada paksaan dari orangtua maupun suaminya, tidak ada tekanan dari organisasi atau masjid mana pun.
Mereka juga tidak merasakan kesulitan apa pun dalam beraktifitas dan menjalankan bisnis dengan pakaian Muslimah dan burqanya. Lalu dimana letak penindasannya?
Justru dengan larangan burqa dan sanksi tegas yang mulai diberlakukan minggu ini, saudara-saudara kita Muslimah di sana, yang taat pada agamanya, menjadi tertindas, terbelenggu dan kehilangan kebebasannya.
Mereka juga tidak mendapatkan keadilan di negara yang konon mengagungkan kebebasan, keadilan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite).
Perancis adalah negara sekuler, jadi wajar melarang?
Perancis telah gagal meyakinkan warganegaranya bahwa demokrasi dan sekularisme adalah nilai-nilai terbaik bagi kehidupan. Ide sesat ini dikampanyekan seolah-olah menjamin kebebasan beragama, bertingkah laku, berkepemilikan dan berpendapat.
Jika konsisten dengan faham sekularismenya, justru seharusnya Perancis memberi kebebasan warganegara; tidak melarang burqa sebagaimana memberi kebebasan berpakaian minim, dan seterusnya.
Namun ketika menyangkut ketaatan terhadap agama Islam, nampak jelas pemerintah Perancis tidak lagi bisa konsisten, karena Perancis juga menyimpan bukti sejarah yang menunjukkan kekuatan Islam sebagai ideologi yang bisa mengancam matinya kapitalisme sekuler.
Apa yang dilakukan oleh Perancis hari ini pasti akan segera diikuti oleh negara-negara Barat lain dan bisa jadi dengan tekanan dan penindasan lebih besar. Ingatlah firman Allah
“…telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi…” [TQS Ali-Imran (3):118]
Bagaimana seharusnya sikap umat Islam?
Seharusnya umat Islam di seluruh dunia menyadari dua hal.
Pertama satu lagi bukti bahwa demokrasi , liberalisme dan sekularisme hanyalah ide sesat yang dikemas manis dijajakan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ide-ide ini hanya berlaku untuk mendukung perilaku buruk manusia yang ingin mengambil keuntungan dari pornografi dan pornoaksi yang melecehkan perempuan namun tidak berlaku untuk mendukung perempuan Muslimah yang taat pada aturan Penciptanya.
Maka jangan lagi ragu untuk segera meninggalkan demokrasi, dan ide-ide kapitalisme lainnya.
Kedua, Umat Islam membutuhkan institusi politik, negara, yang mampu mengayomi pelaksanaan syaariat secara sempurna. Tanpa adanya negara yang menerapkan syariat secara sempurna yakni Khilafah Islam, musuh-musuh Islam dengan mudah merampas hak-hak kaum Muslim untuk taat pada perintah Allah.
Dan kita membutuhkan Khilafah Islamiyah itu sekarang, bukan nanti, karena masalah umat Islam hari ini bukan hanya pelarangan burqa namun juga pembantaian oleh rezim antek barat, pendudukan Israel dan AS, penghisapan kekayaan alam, dan berbagai penyesatan pemikiran yang merusak generasi. Maka segeralah berjuang untuk tegaknya Khilafah Islam. []mediaumat.com
Rabu, 23 Maret 2011
Nasionalisme dalam Pandangan Syariah Islam
Kelemahan Nasionalisme
1. Kualitas ikatannya rendah. Sehingga tidak mampu mengikat manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tatkala mewujudkan kesatuan ummat.
2. Ikatannya hanya bersifat emosional dan muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, disamping adanya peluang selalu berubah-ubah.
3. Ikatan ini bersifat temporal, akan meningkat ketika ada ancaman dari luar, sebaliknya pada saat keadaan normal atau aman ikatan ini tidak berarti sama sekali.
Bisa diambil contoh dahulu semangat nasionalisme masyarakat indonesia ketika masih dijajah sangat menggebu-gebu, bahkan kita sering dengar slogan “rawe-rawe rantas malang-malang putung” atau “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, namun setelah indonesia merdeka semangat nasionalisme itupun pudar, lihat saja kasus timor-timur, aceh, papua, dan daerah-daerah lain yang malah ingin memisahkan diri dari NKRI. Yang jadi pertanyaan mana nasionalismenya?
Pandangan Islam mengenai faham nasionalisme
Rasulullah SAW bersabda
“Bukan termasuk Ummatku orang yang m engajak pada Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.“(HR.Abu Dawud).
Islam tidak kenal dengan namanya nasionalisme, maksudnya itu tidak diajarkan oleh Islam bahkan harus dijauhi, tidak boleh diperjuangkan. Paham seperti ini dalam al-quran dikenal dengan ashabiyah. Rasulullah mempersatukan kaum muhajirin dan anshor dengan satu landasan yaitu akidah Islamiyah. Bukan karena landasan nasionalisme atau yg lainya. Rasulullah mengumpamakan kita seperti satu tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Menurut sejarah para sahabat Rasulullah SAW. di kota Madinah, bahkan masih di masa Baginda Rasulullah SAW masih hidup mengajarkan hal itu. Ketika masyarakat dan negara Islam baru tumbuh di kota Madinah. Dan kedudukan politik dan kekuatan ekonomi mereka menggeser kepentingan dan posisi kaum Yahudi, maka Yahudi membuat makar. Salah seorang tokoh Yahudi yang bernama Syas bin Qais yang sangat benci dengan bersatunya dua suku besar penghuni kota Madinah Aus dan Khazraj dalam ikatan Islam, membuat makar dengan mengirim seorang penyair agar membacakan syair-syair Arab Jahiliyah yang biasa mereka pakai dalam perang Buats. Perang Buats adalah perang yang terjadi selama 120 tahun (Ibnu Ishaq dalam Tafsir Al Mawardi) antara kaum Aus dan Khazraj. Dan selama musim perang tersebut, pihak Yahudilah yang mengambil keuntungan politik maupun ekonominya.
Penyair suruhan Syas berhasil mempengaruhi jiwa sekumpulan kaum Anshar dari kalangan Aus dan Khazraj di suatu tempat di kota Madinah. Syair jahiliyah tersebut mengantarkan mereka kepada perasaan kebanggaan dan kepahlawanan mereka di masa jahiliyah dalam medan perang Buats. Perasaan kebangsaan dan kepahlawanan kaum Aus maupun Khazraj itu memuncak hingga mereka lupa bahwa mereka sesama muslim. Yang Aus merasa Aus dan yang Khazraj merasa Khazraj. Dalam puncak emosi perang itu mereka akhirnya berteriak-teriak histeris ”Senjata-senjata!”.
Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah datang bersama pasukan kaum muslimin untuk melerai mereka. Rasulullah SAW bersabda:“Wahai kaum muslimin, apakah karena seruan jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku ada di tengah-tengah kalian. Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dan dengan Islam Allah putuskan urusan kalian pada masa jahiliyyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah pertautkan hati-hati kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaithan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah SAW. dengan senantiasa siap mendengar dan taat…” (Sirah Ibnu Hisyam Juz 1/555).
Dan marilah kita memperhatikan firman Allah SWT “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang ber-saudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran 103).
Umat Islam baik itu yang berkulit hitam atau putih, yang mancung maupun pesek, berdomisili di sabang sampai dimaroko, semua adalah saudara , tidak berbeda satu dengan yang lainnya dan yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya. Maka sudah selayaknyalah kita bersatu, bersatu dalam hal artian yang sebenarnya yaitu bersatu dalam bingkai negara khilafah. Dengan ikatan akidah islam bukan nasionalisme. Karena inilah wujud persatuan yang sesungguhnya.
Wallahu a’lam